/> Jeritan Nasabah Dibalik Tunggakan SPP PNPM Jeunieb

Jeritan Nasabah Dibalik Tunggakan SPP PNPM Jeunieb

 


Bireuen, newsataloen.com -- Persoalan tunggakan dana Simpan Pinjam Perempuan (SPP) PNPM Mandiri Kecamatan Jeunieb memasuki babak yang kian memprihatinkan. Sebanyak Rp120 juta dana masih berada di tangan para nasabah, sebagian besar dari kalangan warga kurang mampu yang terpukul secara ekonomi sejak pandemi Covid-19. Mereka kini berharap Pemerintah Kabupaten Bireuen dan aparat penegak hukum (APH) hadir dengan pendekatan yang lebih manusiawi.

Ketua Pengelola SPP PNPM Jeunieb, Anwar, mengakui bahwa proses penagihan di lapangan kerap diwarnai ketegangan.

“Bukan hanya dimaki-maki, kami bahkan pernah diteror saat menagih. Sebagian besar nasabah memang sudah tidak mampu melunasi karena kondisi ekonomi mereka benar-benar terpuruk,” ujarnya, Selasa (9/12/2025).

Ia menambahkan, seluruh dana yang macet berada di pihak peminjam. Sisanya, berkas administrasi dan proses pendampingan turut ditangani oleh Kejaksaan Negeri Bireuen.

“Tidak ada uang yang tersisa di pengelola. Semua tunggakan itu murni pada nasabah yang belum mampu membayar,” ujar Anwar.

Keuchik Meunasah Blang, Fakhrurrazi, menilai persoalan tunggakan ini tidak bisa diselesaikan semata melalui tekanan.

“Sisa pinjaman para nasabah sebenarnya jauh lebih kecil dibandingkan total setoran yang sudah mereka bayarkan. Maka tidak selayaknya pendekatan yang digunakan berupa intervensi atau ancaman,” katanya.

Ia menegaskan, opsi penyitaan aset seperti rumah dan tanah—yang selama ini disebut dalam beberapa pertemuan—akan menjadi pukulan berat bagi keluarga miskin.

“Rumah dan kebun itu satu-satunya tempat mereka bertahan hidup. Sangat tidak berperikemanusiaan jika itu harus disita,” tegasnya.

Ernawati (50), janda dari Gampong Blang Me Barat, adalah satu dari puluhan nasabah yang kini melewati hari-hari dalam kecemasan. Ia meminjam dana PNPM dua kali Rp5 juta (lunas) dan Rp8 juta yang kini tersendat sejak masa pandemi.

“Setoran pertama sudah langsung dipotong saat pencairan. Kami juga pernah membayar beberapa kali, tetapi bukti salinannya hanyut saat banjir,” tuturnya dengan suara bergetar.

Dengan kondisi kesehatan yang memburuk dan harus menghidupi dua anak yang masih sekolah, ia mengaku mustahil melunasi dalam waktu dekat.

“Kami tidak lari dari tanggung jawab, niat membayar itu ada. Tapi bagaimana kami menyisihkan uang sementara untuk makan saja sulit?” ujarnya.

Ernawati juga mengaku pernah dipanggil ke meunasah dan kantor camat yang turut dihadiri pihak kejaksaan serta pengelola.

“Penyitaan sertifikat tanah pernah disinggung. Kalau rumah kami diambil, kami harus tinggal di mana? Rumah itu warisan orang tua,” katanya.

Nasabah lainnya, Nurmasyitah (55) dari Gampong Meunasah Blang, meminjam Rp2 juta untuk menambah modal berdagang di kantin sekolah. Ia sudah melakukan tujuh kali setoran, dan tersisa Rp906.000 yang belum terbayar.

“Saya sudah siapkan sebagian untuk setoran berikutnya melalui keuchik. Saya tetap berniat melunasi,” ujarnya.

Nurmasyitah berharap penagihan dilakukan dengan pendekatan yang lebih memahami kondisi kebutuhan harian keluarga kecilnya.

Persoalan ini bukan sekadar urusan administrasi, melainkan menyangkut kehidupan masyarakat kecil. Situasi memerlukan hadirnya pemerintah daerah untuk menjembatani dialog antara pengelola, nasabah, dan APH, serta memastikan penyelesaian yang adil tanpa mengorbankan warga rentan.

Di balik angka tunggakan, ada derita dan kegelisahan warga yang sedang berjuang bertahan hidup. Mereka menunggu solusi yang tidak hanya taat aturan, tetapi juga berpihak pada kemanusiaan. (*)

Post a Comment

Previous Post Next Post