Acara ini dibuka oleh Kepala Cabang Dinas (Kacabdin) Pendidikan Wilayah Bireuen, Abdul Hamid, S.Pd., M.Pd., yang juga turut menjadi narasumber. Seminar mengangkat tema “Menjadi Guru Berpengaruh dan Inspiratif dalam Mengajar dengan Pendekatan Deep Learning.”
Namun, di balik gelaran yang tampak megah tersebut, sejumlah peserta menyampaikan kekecewaan mendalam, terutama soal kewajiban membayar biaya pendaftaran sebesar Rp250.000 per orang. Salah satu guru peserta yang enggan disebut namanya menyebutkan bahwa keikutsertaan dalam acara ini terkesan dipaksakan oleh pihak Kacabdin.
"Kami guru-guru di bawah naungan Kacabdin merasa tidak punya pilihan. Mau tidak mau harus ikut. Kalau tidak ikut, bisa-bisa ada konsekuensinya," ujar guru tersebut kepada wartawan, seraya menambahkan, yang menjadi sorotan utama adalah nilai manfaat dan transparansi penyelenggaraan acara yang dinilai janggal.
Peserta hanya menerima air mineral kotak, snack, sertifikat, dan makan siang. Tidak ada absensi resmi yang disediakan panitia, bahkan fasilitas standar seperti tas seminar atau alat tulis pun absen.
"Kalau ini benar-benar seminar nasional, mestinya ada perlakuan profesional, fasilitas layak, dan transparansi anggaran. Ini lebih mirip Bimtek bertopeng seminar," kritiknya tajam.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh pihak ketiga bernama GRAPENSI, beralamat di Jalan Bambu Apus Raya No.1, Cipayung, Jakarta Timur. Tidak jelas apa rekam jejak lembaga ini dalam penyelenggaraan seminar pendidikan nasional, dan keterlibatan mereka juga tidak disosialisasikan secara terbuka kepada peserta sebelumnya.
Lebih lanjut, acara ini dijadwalkan berlangsung dua hari, namun untuk hari kedua, seminar hanya digelar secara daring via Zoom. Ironisnya, biaya Rp250.000 per peserta tetap diberlakukan meskipun tidak ada lagi konsumsi atau fasilitas fisik yang diberikan panitia.
Sejumlah guru mempertanyakan urgensi seminar ini dan menilai adanya indikasi komersialisasi kegiatan pendidikan berkedok peningkatan kompetensi.
"Kami mendukung peningkatan mutu guru, tapi jangan dengan cara memaksa dan membebani kami. Ini bukan pengembangan profesional, ini pemaksaan terselubung," tegas seorang peserta lainnya.Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak Dinas Pendidikan Aceh maupun panitia penyelenggara terkait keluhan guru-guru tersebut.(rel/rj/ops/mi).
"Kalau ini benar-benar seminar nasional, mestinya ada perlakuan profesional, fasilitas layak, dan transparansi anggaran. Ini lebih mirip Bimtek bertopeng seminar," kritiknya tajam.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh pihak ketiga bernama GRAPENSI, beralamat di Jalan Bambu Apus Raya No.1, Cipayung, Jakarta Timur. Tidak jelas apa rekam jejak lembaga ini dalam penyelenggaraan seminar pendidikan nasional, dan keterlibatan mereka juga tidak disosialisasikan secara terbuka kepada peserta sebelumnya.
Lebih lanjut, acara ini dijadwalkan berlangsung dua hari, namun untuk hari kedua, seminar hanya digelar secara daring via Zoom. Ironisnya, biaya Rp250.000 per peserta tetap diberlakukan meskipun tidak ada lagi konsumsi atau fasilitas fisik yang diberikan panitia.
Sejumlah guru mempertanyakan urgensi seminar ini dan menilai adanya indikasi komersialisasi kegiatan pendidikan berkedok peningkatan kompetensi.
"Kami mendukung peningkatan mutu guru, tapi jangan dengan cara memaksa dan membebani kami. Ini bukan pengembangan profesional, ini pemaksaan terselubung," tegas seorang peserta lainnya.Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak Dinas Pendidikan Aceh maupun panitia penyelenggara terkait keluhan guru-guru tersebut.(rel/rj/ops/mi).
Post a Comment