![]() |
| Dr.Iswadi |
Jakarta, newsataloen.com - Bagi Dr. Iswadi, kunci menuju Indonesia Emas 2045 bukan hanya pembangunan ekonomi atau kemajuan teknologi, melainkan pendidikan yang benar benar membebaskan . Ia percaya, bangsa yang besar bukan ditentukan oleh seberapa tinggi gedung pencakar langitnya, melainkan oleh sejauh mana warganya berpikir merdeka, adil, dan berkarakter.
Dalam banyak kesempatan, Dr. Iswadi,Selasa Sore (11/11) di Jakarta,menekankan bahwa pendidikan Indonesia masih terlalu terjebak dalam sistem yang mengekang. Sekolah sering kali menjadi tempat menghafal bukan berpikir, dan peserta didik lebih sibuk mengejar nilai daripada memahami makna belajar. Kita terlalu fokus pada hasil ujian, padahal yang terpenting adalah membentuk manusia yang utuh, ujarnya.
Baginya, pendidikan membebaskan berarti pendidikan yang menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar keterampilan. Ia mengutip pemikiran Ki Hadjar Dewantara dan Paulo Freire, bahwa pendidikan harus memerdekakan manusia dari ketidaktahuan, ketakutan, dan ketergantungan.
Dalam pendidikan seperti ini, siswa diajak untuk bertanya, berdialog, dan berani berpikir kritis terhadap realitas sosial. Guru seharusnya tidak menjejalkan ilmu, tetapi menyalakan api keingintahuan, kata Dr. Iswadi.
Namun, kebebasan dalam pendidikan tidak berarti tanpa arah. Dr. Iswadi menegaskan bahwa pendidikan membebaskan tetap harus berakar pada nilai nilai moral, kemanusiaan, dan kebangsaan. Kebebasan berpikir harus diiringi dengan tanggung jawab sosial dan empati terhadap sesama.
Ia menekankan pentingnya menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, karena bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki keseimbangan antara pengetahuan dan kebijaksanaan.
Dalam pandangannya, ada tiga syarat utama agar pendidikan benar benar membebaskan dan membawa Indonesia menuju keemasan pada 2045.
Pertama, pemerataan akses dan kesempatan. Masih banyak anak di pelosok yang tertinggal karena ketimpangan fasilitas dan kualitas guru. Pendidikan yang membebaskan harus memastikan setiap anak, di manapun ia lahir, mendapat hak belajar yang sama.
Kedua, perubahan paradigma pembelajaran . Sekolah harus menjadi ruang kreatif, bukan sekadar ruang ujian. Kurikulum perlu memberi ruang bagi eksperimen, kolaborasi, dan pembentukan karakter.
Ketiga, penggunaan teknologi yang bijak dan humanis . Teknologi seharusnya membantu siswa belajar lebih luas dan kontekstual, bukan menggantikan proses kemanusiaan di ruang kelas.
Dr. Iswadi juga menyoroti peran guru sebagai tokoh utama perubahan. Ia menyebut guru sebagai penyala obor peradaban Menurutnya, guru harus diberdayakan, bukan dibebani. Guru yang bahagia akan melahirkan murid yang merdeka, tegasnya.
Lebih jauh, ia melihat bahwa pendidikan yang membebaskan juga harus melibatkan masyarakat luas. Dunia usaha, media, komunitas, dan keluarga perlu menjadi bagian dari ekosistem pendidikan. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi tanggung jawab seluruh bangsa, ujarnya.
Menutup pandangannya, Dr. Iswadi mengingatkan bahwa Indonesia Emas 2045 bukan sekadar target ekonomi, melainkan cita cita peradaban. Ia berkata, Kita bisa membangun ribuan gedung dan jalan tol, tapi tanpa manusia yang merdeka dan berkarakter, semua itu tak punya jiwa.
Baginya, rahasia Indonesia Emas ada pada satu hal: pendidikan yang membebaskan manusia dari belenggu ketimpangan dan ketakutan untuk berpikir. Dengan pendidikan yang seperti itu, Indonesia tak hanya akan maju, tetapi juga beradab dan bermartabat di mata dunia. (rj)

Post a Comment