![]() |
| Dr.Iswadi |
Jakarta, newsataloen.com - Pengumuman penganugerahan Pahlawan Nasional tahun 2025 memunculkan berbagai tanggapan dari masyarakat Indonesia. Salah satu kritik paling tegas datang dari Aceh, melalui pernyataan Dr. Iswadi, seorang akademisi dan pemerhati sejarah. Ia menyayangkan tidak ada satu pun tokoh asal Aceh yang masuk dalam daftar penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini.
Menurut Dr. Iswadi, keputusan ini terasa ironis, mengingat Aceh selama ini dikenal sebagai “Daerah Modal” bagi lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia menegaskan bahwa kontribusi Aceh dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa sangat signifikan. Mulai dari dukungan logistik, diplomasi, hingga pengorbanan jiwa raga para pejuangnya, Aceh memiliki catatan panjang yang seharusnya diakui secara nasional.
Sejarah mencatat peran besar Aceh, dari masa Kesultanan hingga era kemerdekaan. Banyak tokoh Aceh berjuang tidak hanya untuk daerahnya, tetapi untuk Indonesia secara keseluruhan. Namun, setiap tahun, gelar Pahlawan Nasional seolah melupakan jasa mereka,” ujar Dr. Iswadi dalam wawancara khusus dengan para awak media
Dr. Iswadi menyoroti sejumlah tokoh Aceh yang belum mendapat pengakuan meski jasanya sangat jelas. Ia menyebut bahwa banyak dari mereka telah berperan dalam perjuangan diplomasi dan pendidikan nasional, serta mendukung keberlangsungan negara di masa masa kritis. Salah satu contohnya adalah kontribusi rakyat Aceh dalam penggalangan dana untuk membeli pesawat pertama Republik Indonesia,Seulawah RI-001 dan RI-002, yang menjadi simbol dukungan daerah terhadap negara yang baru lahir.
Kita tidak bisa melupakan fakta sejarah bahwa Aceh pernah menjadi tulang punggung dukungan bagi negara muda ini. Namun, sampai sekarang, banyak tokoh Aceh belum mendapatkan pengakuan setara. Ini bukan soal prestise, tapi soal keadilan sejarah, tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa penghargaan terhadap pahlawan tidak hanya sekadar simbol, tetapi bagian dari menjaga ingatan kolektif bangsa. Mengabaikan kontribusi daerah tertentu dapat menimbulkan rasa ketidakadilan historis yang berdampak pada semangat nasionalisme.
Dr. Iswadi, Senin (10/11) di Jakarta, mengatakan pemerintah seharusnya membuka ruang lebih luas bagi pengajuan usulan dari daerah dan memperhatikan rekam jejak historis secara menyeluruh.
Kritik ini mendapat respons luas di kalangan masyarakat Aceh, terutama melalui media sosial. Banyak yang mengekspresikan kekecewaan dan mendukung pandangan Dr. Iswadi bahwa Aceh tidak boleh terus menerus diabaikan dalam penetapan gelar Pahlawan Nasional.
Meski kekecewaan muncul, Dr. Iswadi menekankan pentingnya peran masyarakat dan akademisi dalam memperjuangkan pengakuan bagi tokoh tokoh Aceh. Menurutnya, menjaga sejarah dan mengenang jasa para pejuang daerah bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif masyarakat.
Perjuangan Aceh untuk pengakuan belum berakhir. Kita harus terus memperjuangkan tokoh tokoh kita agar jasa mereka diingat bangsa. Aceh tidak boleh kehilangan semangatnya hanya karena pengakuan pemerintah pusat tertunda,” katanya.
Kritik Dr. Iswadi membuka diskusi penting tentang keadilan sejarah dan penghargaan bagi daerah daerah yang berjasa besar bagi Indonesia. Aceh, dengan segala kontribusinya, tetap menunggu saatnya para putra terbaiknya diakui secara layak sebagai Pahlawan Nasional. (red/rizal jibro).

Post a Comment