Jakarta, newsataloen.com - Dalam pandangan Dr. Iswadi, guru bukan sekadar pengajar yang menyampaikan ilmu, melainkan sosok pembebas yang menuntun peserta didik menuju kemandirian berpikir dan kemerdekaan belajar. Pendidikan, bagi beliau, adalah proses memanusiakan manusia mengangkat martabat peserta didik agar mampu mengenali potensi, menumbuhkan kesadaran, serta berperan aktif dalam menciptakan kehidupan yang lebih adil. Refleksi ini menjadi pijakan penting dalam memahami bagaimana guru dapat menjalankan peran mulianya di tengah tantangan zaman yang terus berubah.
Dr. Iswadi menilai bahwa sistem pendidikan kita masih banyak yang terjebak dalam praktik yang mengekang kebebasan belajar. Kelas sering kali menjadi ruang yang kaku, di mana guru menjadi pusat pengetahuan dan siswa sekadar penerima pasif. Paradigma semacam ini, menurutnya, menjauhkan esensi sejati pendidikan. Ia mengingatkan bahwa seorang guru sejati bukanlah pemilik kebenaran, melainkan fasilitator yang membantu siswa menemukan kebenarannya sendiri melalui proses berpikir kritis, dialog, dan refleksi.
Dalam refleksinya, Dr. Iswadi mengutip semangat pendidikan yang membebaskan sebagaimana digagas oleh tokoh tokoh pendidikan progresif seperti Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire. Keduanya menekankan pentingnya pendidikan yang berpihak pada peserta didik, menghargai pengalaman mereka, dan menumbuhkan kesadaran kritis terhadap realitas sosial.
Dr. Iswadi mengembangkan gagasan ini dalam konteks pendidikan Indonesia modern di mana guru diharapkan tidak hanya mengajar untuk mengejar target kurikulum, tetapi juga membimbing siswa menjadi manusia yang merdeka berpikir, berempati, dan berkeadilan.
Bagi Dr. Iswadi, pembelajaran yang berkeadilan berarti memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi setiap anak untuk berkembang sesuai potensinya. Keadilan tidak identik dengan keseragaman. Ia justru menuntut kepekaan guru terhadap keberagaman peserta didik: latar belakang sosial, budaya, ekonomi, bahkan emosional.
Guru yang berkeadilan mampu menyesuaikan pendekatan pembelajaran agar tidak ada peserta didik yang tertinggal atau terpinggirkan. Dalam konteks ini, keadilan bukan hanya persoalan akses pendidikan, tetapi juga persoalan pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan
Lebih jauh, Dr. Iswadi menekankan pentingnya refleksi diri bagi para guru. Seorang guru yang membebaskan harus senantiasa merefleksikan praktik pembelajarannya: apakah ia telah memberi ruang bagi siswa untuk berpendapat, apakah ia telah mendengar suara mereka, dan apakah ia telah menghadirkan keadilan dalam setiap keputusan di kelas.
Refleksi menjadi kunci agar guru tidak terjebak dalam rutinitas mekanis. Melalui refleksi, guru menemukan kembali makna dari pekerjaannya bahwa mengajar bukan hanya kewajiban profesional, tetapi juga tanggung jawab moral dan spiritual.
Dr. Iswadi juga menyoroti pentingnya nilai nilai kemanusiaan dalam proses pendidikan. Pembelajaran yang berkeadilan dan membebaskan harus berlandaskan pada kasih, empati, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Guru yang membebaskan tidak menakut nakuti siswa dengan hukuman atau ancaman, melainkan menginspirasi mereka melalui keteladanan, dialog, dan kasih sayang. Dalam ruang kelas seperti ini, belajar bukan sekadar kegiatan intelektual, melainkan pengalaman batin yang menumbuhkan jiwa dan karakter.
Namun, Dr. Iswadi juga realistis. Ia menyadari bahwa guru di lapangan sering kali dihadapkan pada tekanan administratif, kebijakan yang berubah-ubah, serta ekspektasi masyarakat yang tinggi. Kondisi tersebut kerap membuat guru kehilangan ruang untuk berkreasi dan berefleksi.
Meski demikian, Dr. Iswadi tetap optimistis. Ia percaya bahwa perubahan pendidikan dimulai dari kesadaran individu. Seorang guru yang berani mempraktikkan pembelajaran yang humanis dan membebaskan akan menularkan semangat itu kepada rekan sejawat dan siswanya. Dari ruang kelas kecil, perubahan besar dapat lahir. (red/rizal jibro).

Post a Comment