/> Pemikiran Dr. Iswadi: Reduksi Moral dalam Evaluasi Akademik dan Krisis Pengukuran Nilai Kejujuran

Pemikiran Dr. Iswadi: Reduksi Moral dalam Evaluasi Akademik dan Krisis Pengukuran Nilai Kejujuran

 


Jakarta, newsataloen.com - Dalam dunia pendidikan modern, evaluasi akademik telah menjadi instrumen utama untuk menilai keberhasilan peserta didik. Sistem ini dianggap sebagai alat yang paling objektif dan terukur dalam menentukan kemampuan, kecerdasan, serta pencapaian akademik seseorang. 

Namun di balik objektivitas yang diklaim, tersimpan persoalan mendasar yang bersifat etis dan filosofis: dapatkah nilai nilai moral, terutama kejujuran, benar-benar diukur melalui instrumen akademik? Pertanyaan inilah yang menjadi titik tolak pemikiran Dr. Iswadi, yang mengajukan kritik tajam terhadap reduksi moral dalam praktik evaluasi akademik.

Menurut Dr. Iswadi, pendidikan yang menempatkan evaluasi akademik sebagai tolok ukur utama keberhasilan telah mengalami krisis moral dan epistemologis. Ketika kejujuran sebuah nilai etika yang seharusnya menjadi inti dari seluruh proses pendidikan direduksi menjadi indikator perilaku saat ujian, maka hakikat moralitas telah terdistorsi. 

Dalam pandangannya, kejujuran tidak bisa dipahami sebagai variabel yang dapat diukur dengan alat tes, melainkan sebagai kualitas batiniah yang tumbuh dari kesadaran, pembiasaan, dan refleksi etis yang mendalam.Dr. Iswadi menegaskan bahwa sistem evaluasi yang berorientasi pada hasil telah menciptakan paradoks pendidikan.

Di satu sisi, ia bertujuan membangun integritas akademik.

Namun di sisi lain justru menumbuhkan praktik-praktik ketidakjujuran seperti menyontek, manipulasi nilai, hingga plagiarisme. Fenomena ini bukan semata akibat moral individu yang lemah, melainkan refleksi dari sistem pendidikan yang menilai manusia berdasarkan angka dan bukan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam situasi semacam ini, kejujuran kehilangan konteks moralnya dan berubah menjadi sekadar tuntutan administratif.

Lebih jauh, Dr. Iswadi melihat adanya reduksi moral dalam evaluasi akademik. Reduksi ini terjadi ketika nilai nilai luhur seperti kejujuran, tanggung jawab, dan integritas diubah menjadi aspek teknis yang seolah dapat diukur, diawasi, atau diberi skor. Padahal, nilai-nilai tersebut bersifat eksistensial berakar pada kesadaran moral dan spiritual manusia. Dengan demikian, pendidikan yang terlalu menekankan evaluasi berbasis angka secara tidak langsung menafikan aspek terdalam dari proses pembentukan karakter.

Dalam kerangka pemikirannya, Dr. Iswadi menggunakan pendekatan etika humanistik  yang menempatkan manusia sebagai subjek bermoral, bukan sekadar objek penilaian. Ia berpendapat bahwa pendidikan harus menjadi ruang pembentukan karakter, bukan arena kompetisi angka. Kejujuran, dalam pandangan beliau, tidak lahir dari ancaman hukuman atau sistem pengawasan.

Melainkan dari kesadaran diri yang tumbuh melalui keteladanan dan refleksi nilai. Oleh sebab itu, pendidikan moral tidak dapat dilakukan dengan cara mengukur, melainkan dengan menghidupkan nilai nilai itu dalam praksis pendidikan.Dr. Iswadi juga menyoroti krisis epistemologis dalam dunia pendidikan. 

Evaluasi akademik yang berorientasi kuantitatif bersandar pada paradigma positivistik, yakni anggapan bahwa segala bentuk pengetahuan dan nilai dapat diukur secara objektif. Paradigma ini menyingkirkan aspek afektif dan moral yang tidak dapat dikalkulasi. Dalam kritiknya, Dr. Iswadi menilai bahwa positivisme pendidikan telah melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual, tetapi rapuh secara moral. Kejujuran sebagai dasar pengetahuan sejati tergantikan oleh ambisi mengejar prestasi akademik semu.

Dalam konteks ini, Dr. Iswadi mengajak para pendidik untuk meninjau ulang makna evaluasi.Ia berpendapat bahwa evaluasi seharusnya tidak hanya menjadi alat ukur kognitif, tetapi juga wahana refleksi etis. Seorang guru atau dosen perlu menempatkan penilaian dalam kerangka pembentukan manusia utuh yang berpikir kritis sekaligus berperilaku jujur. Kejujuran tidak dinilai melalui lembar jawaban, tetapi ditanamkan melalui pembiasaan, dialog, dan keteladanan moral yang konsisten.(red/rizal jibro).

Post a Comment

Previous Post Next Post