/> Opini: Skandal Kacabdin Aceh Selatan, Integritas Pemerintah Aceh Dipertaruhkan

Opini: Skandal Kacabdin Aceh Selatan, Integritas Pemerintah Aceh Dipertaruhkan


Mahmud Padang 

Aceh, newsataloen.com - DUGAAN praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melibatkan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Aceh Selatan, Annadwi, sempat menggegerkan publik. Hal itu bermula ketika secara gamblang terbuka ke publik dengan mencuatnya kasus kelulusan istrinya, ESP, SP dalam seleksi PPPK beberapa waktu lalu. Kelulusan itu memicu kegelisahan dan kemarahan dari sejumlah kepala sekolah di wilayah tersebut karena dianggap sarat kepentingan dan tidak melalui mekanisme yang adil.

Menurut para kepala sekolah, ESP tidak pernah tercatat sebagai guru honorer tetap dan tidak mengajar aktif di sekolah negeri manapun. Namun kelulusannya justru melampaui banyak tenaga pengajar yang telah bertahun-tahun mengabdi.

Kasus ini kemudian menjadi titik balik bagi para kepala sekolah dari 46 SMA negeri dan swasta di Aceh Selatan untuk bersuara. Mereka mengaku selama ini telah menahan keresahan atas kepemimpinan Annadwi yang diduga menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Sejumlah kepala sekolah menyatakan akan melayangkan surat terbuka kepada Kepala Dinas Pendidikan Aceh sebagai bentuk protes dan permintaan agar keresahan ini ditindaklanjuti secara serius. Dalam keterangan mereka, praktik pungutan liar sudah menjadi rahasia umum di bawah kepemimpinan Annadwi.

Penempatan kepala sekolah negeri, misalnya, diduga harus melalui pembayaran antara Rp10 juta hingga Rp30 juta tergantung pada besar kecilnya sekolah. Setiap pencairan dana BOS pun tak luput dari setoran wajib sebesar 1 persen langsung ke Kacabdin. Tak hanya itu, 3 persen tambahan dari BOS juga disetorkan ke MKKS yang kemudian dipakai untuk mendanai kegiatan operasional Cabdin.

Lebih mencengangkan lagi juga pernah mencuat ke publik, dimana dana gaji guru dan tenaga kependidikan kontrak untuk periode Juli-Desember 2023 yang baru cair di awal 2024 pun diduga diminta kembali melalui kepala sekolah dan disetor ke Cabdin melalui staf bernama Farlan Mirza. Dalihnya, dana tersebut akan disampaikan ke Dinas Pendidikan Aceh. Namun hingga kini, tidak ada klarifikasi resmi dari dinas terkait, sehingga pengakuan para kepala sekolah tersebut semakin menguatkan sinyal dugaan praktik penyelewengan.

Yang paling fatal adalah pernyataan Annadwi sendiri yang mengakui menerima uang sebesar Rp500 ribu setiap kali melakukan kunjungan ke sekolah. Pengakuan ini secara hukum dapat dikategorikan sebagai penerimaan gratifikasi. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi adalah bentuk penerimaan tidak sah yang dapat dijerat hukum apabila dilakukan oleh penyelenggara negara atau pejabat publik.

Namun hingga hari ini, tidak ada tindakan dari aparat penegak hukum maupun dari Inspektorat dan Dinas Pendidikan Aceh. Surat keberatan yang disiapkan oleh sejumlah kepala sekolah pun belum mendapat respon, seolah dianggap angin lalu oleh birokrasi provinsi.

Padahal, Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf (Mualem) sejak awal kepemimpinannya telah menegaskan komitmen untuk memperbaiki mutu pendidikan Aceh dan memberantas korupsi di lingkungan pemerintahan. Penandatanganan fakta integritas bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya menjadi rujukan moral dan politik bagi seluruh pejabat struktural di bawahnya.

Namun pembiaran terhadap dugaan KKN di Cabang Dinas Pendidikan Aceh Selatan justru mencoreng wajah pemerintahannya sendiri. Jika Gubernur Aceh tidak segera mengevaluasi Annadwi, maka komitmen reformasi pendidikan dan pemberantasan korupsi hanya akan menjadi slogan kosong yang kehilangan makna.

Dalam konteks ini, tindakan tegas Gubernur sangat diperlukan, tidak hanya untuk menertibkan birokrasi pendidikan di Aceh Selatan, tapi juga untuk memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah Aceh secara keseluruhan.

Dunia pendidikan tidak boleh dibiarkan menjadi ladang rente oleh oknum yang menyalahgunakan kekuasaan. Jika tidak segera ditangani, maka praktek semacam ini akan mengakar dan merusak generasi yang seharusnya diselamatkan melalui pendidikan yang bersih dan berintegritas.

Penulis : Mahmud Padang - Ketua DPW Aliansi Mahasiswa Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh

Post a Comment

Previous Post Next Post