Oleh : Mahmud Padang
PENUNJUKAN Irjen Pol. Marzuki Ali Basyah sebagai Kapolda Aceh pada 5 Agustus 2025 menjadi momentum penting bagi rakyat Aceh yang selama ini dicekik oleh ketidakpastian hukum, kasus korupsi yang mangkrak, serta isu liar tentang aparat yang ikut bermain dalam proyek-proyek publik. Nama Marzuki bukan asing di bumi Serambi Mekkah.
Ia putra asli Pidie yang telah menempa dirinya dalam berbagai posisi strategis, terakhir sebagai Kepala BNNP Aceh, dimana ia mengukir reputasi cemerlang dalam pemberantasan narkoba di bumi rencong pusaka.
Di bawah kepemimpinannya, BNNP Aceh mencatat rekor nasional dengan bukti puluhan jaringan narkotika dibongkar, ribuan kilogram barang bukti disita, dan puluhan bandar besar ditangkap. Publik tahu bahwa ia bukan perwira biasa. Ia dikenal bersih, tegas, dan tak gemar pencitraan.
Itulah yang membuat harapan masyarakat kali ini terasa lebih hidup, bahwa Aceh mungkin benar-benar akan memasuki era baru dalam penegakan hukum yang berkeadilan.
Kini, harapan itu akan diuji. Sudah terlalu lama Aceh menjadi panggung dari drama penegakan hukum yang tebang pilih. Kasus-kasus korupsi besar yang menyangkut dana publik tak kunjung jelas. Dalam banyak kasus, aparat seolah hadir hanya untuk menakut-nakuti, bukan menyelesaikan.
Lebih parah, masyarakat bahkan mulai percaya bahwa ada oknum aparat yang ikut "cawe-cawe", mengambil jatah proyek dan menekan kepala desa, kepala sekolah, hingga kontraktor kecil di kampung-kampung, bahkan bahasa adanya campur tangan penegak hukum dalam pengaturan proyek hingga menjarah APBA, APBK, dana sekolah bahkan hingga dana desa. Preseden seperti ini seakan menjadi sesuatu yang terhidang jelas di meja pembicaraan publik tentang kewajiban dengan istilah 'jatah bin jatah'.
Situasi ini tak boleh dibiarkan, dan tak boleh lagi adanya istilah yang disebut dnegan lingkaran setan di tubuh penegak hukum yang menggunakan seragam untuk menakuti-nakuti rakyat dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Dan publik tahu, Marzuki Ali Basyah punya semua modal untuk meredam kekacauan itu, asalkan ia berani dan mau. Ia tak hanya harus menindak tegas jajarannya yang melenceng, tetapi juga membuka kembali lembaran-lembaran kasus korupsi yang selama ini mungkin telah “disimpan rapi”.
Apalagi baru-baru ini, anggota DPR RI Nazaruddin alias Dek Gam telah menyerahkan daftar kasus dugaan korupsi yang mangkrak ke Polda Aceh. Daftar itu menjadi catatan awal yang sangat layak dijadikan pintu masuk untuk menunjukkan bahwa Kapolda baru bukan sekadar simbol rotasi jabatan, melainkan figur pembaharu yang ditunggu rakyat bumi Serambi Mekkah.
Penegakan hukum yang berkeadilan bukan sekadar jargon “Presisi” ala Mabes Polri. Di Aceh, kata “keadilan” punya luka panjang dan harapan besar. Marzuki Ali Basyah diharapkan menjadi pemimpin yang tak tunduk pada tekanan elit politik, tak berselingkuh dengan kepentingan proyek, dan tak membiarkan anak buahnya menyulap seragam jadi alat intimidasi dengan hasrat mengumpulkan pundi-pundi.
Dia harus mampu menjadikan hukum sebagai payung, bukan palu godam. Ia harus berani menggunakan kekuasaan jabatannya untuk menghadirkan hukum sebagai pelindung rakyat, bukan alat tukar kekuasaan.
Bila Irjen Marzuki mampu menjaga integritasnya seperti saat ia memimpin BNNP Aceh, dan menjadikan jabatannya kini sebagai ladang pengabdian di tanah kelahiran bukan malah terjebak dengan kemewahan kekuasaan, maka ia akan dikenang bukan sekadar sebagai Kapolda, tapi sebagai pelurus arah hukum di negeri yang telah terlalu lama kehilangan kepercayaannya pada keadilan.
Selamat kembali sang Jenderal Bintang Dua Marzuki Ali Basyah di tanah rencong pusaka, segudang harapan rakyat semoga tak hanya pupus begitu saja. (Penulis adalah Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (ALAMP AKSI) Provinsi Aceh)

Post a Comment