kabar daerah
Banda Aceh, newsataloen.com -;Banyaknya kritikan terhadap kinerja aparatur birokrasi pemerintahan di Aceh belakangan ini tidak terlepas dari masih rendahnya pengatahuan kalangan aparatur terhadap pemahaman tentang fungsi dan tugas yang diemban.
Dalam hubungan ini sebagai upaya untuk memperbaiki berbagai kelemahan maka diperlukan sebuah pemikiran untuk membangun aparatur birokrasi Aceh yang handal, profesional dan menjunjung tinggi nilai kejujuran serta etika profesi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara pembangunan dan penyelenggara pelayanan publik
Banyak Gubernur yang telah memimpin Aceh dan setiap pergantian gubernur yang pertama dilakukan merombak pembantunya sebagai upaya mengikuti pola organisasi birokrasi moderen berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewengan dan impersonalitas hubungan. Ini dilakukan untuk mencari pejabat yang memiliki kemampuan teknis dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan.
Namun harapan terhadap orang orang yang sebelumnya telah digodok melalui propertest semula dinyakini mampu mejalankan tugas atau pekerjaan, baik yang berkaitan dengan pelayanan dan kemampanan organisasi maupun dalam hal keahlian teknis yang bertanggung jawab belum sepenuhnya tercapai.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan birokrasi pemerintahan di Aceh macet yaitu masih rendahnya motivasi untuk melakukan perubahan dikalangan aparatur. Mareka umumnya belum proposional dalam bidang tugas yang diemban. Bahkan mareka banyak belum faham tentang birokrasi berdasarkan hirarki kewenangan yang memungkinkan terjadinya kontrol yang efektif dan kinerja yang positif.
Mareka belum mengetahui terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan puncak didesentralisasikan kepada pimpinan pelaksana. Bukankah struktur yang telah didesentralisasikan tersebut memungkinkan terciptanya birokrasi profesional yang berdampak kepada peningkatakan kinerja organisasi dimana birokrasi dapat menjadi bertanggung-gugat dengan adanya kewenangan yang didelegasikan tersebut.
Dengan adanya keteraturan cara kerja yang terikat kepada peraturan yang ada akan menjamin tercapainya kesinambungan tugas serta peran pemerintahan. Namun jika aturan main tersebut diterapkan secara kaku maka akan melahirkan birokrasi tidak profesional dan tidak responsif.
Apabila birokrasi tidak terlalu terikat kepada petunjuk pelaksana dan aturan baku sebuah tugas tapi lebih digerakkan oleh misi yang ingin dicapai maka akan terwujud birokrasi profesional yang menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, inovatif, dan mempunyai etos kerja tinggi
Pemerintahan Aceh siapapun yang menjadi gubernur akan selalu dituntut bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan baik (good governance and clean government). Birokrasi yang diharapkan mampu menjadi motivator dan sekaligus menjadi katalisator dari bergulirnya pembangunan.
Dalam menjalankan birokrasi modern tidak hanya mengedepankan kemampuan tugas dan fungsi organisasi saja tetapi juga mampu merespons aspirasi publik kedalam kegiatan dan program organisasi dan mampu melahirkan inovasi baru yang bertujuan untuk mempermudah kinerja organisasi dan sebagai bagian dari wujud aparat yang profesional.
Di era pemerintahan Aceh sebelum sebelumnya memang sudah terlanjur tanpa arah yang jelas dalam menjalankan administrasi publik. Misalnya perilaku dan gaya manajetarial yang sering digunakan oleh manajemen puncak pada hirarki organisasi publik.
Gaya manajerial dan leadership yang bersifat feodalistik dan partnerlistik berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi sehingga jajaran birokrasi tingkat menengah dan bawah takut untuk melakukan dan mengambil langkah langkah baru dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
Rendahnya keinginan melakukan perubahan dan inovasi juga disebabkan oleh gaya manajerial yang tidak kondusif bagi terciptanya birokrasi yang responsif dan inovatif. Tidak mengherankan jika kemampuan kerja organisasi dan jajarannya menjadi rendah.
Dalam pandangan manajemen puncak “pro status-quo” seperti itu, segala perubahan yang terjadi baik dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi komputer, teknologi informasi, dianggap sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan karier dan jabatannya.
Baik-buruknya pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi sangat terkait dengan kemampuan dan kualitas dari birokrasi itu sendiri. Kemampuan birokrat pemerintahan selain dibentuk melalui pengembangan dan peningkatan pengetahuan dan keahlian individu juga sangat dipengaruhi oleh sistem organisasi tersebut seperti orientasi kerja, struktur organisasi, model kepemimpinan serta renumerasi yang diterima oleh aparatur.
Hal lain yang menjadi penyebab gagalnya sistim birokrasi pemerintahan di Aceh adalah dimana proses penempatan pejabat baru seringkali mengabaikan aspek meritokrasi dan kebutuhan organisasi. Tidaklah mengherankan jika dalam praktek, birokrasi selama ini sering kewalahan dalam mengantisipasi setiap perubahan dan aspirasi baru.
Dampak dari itu adalah terjadinya penurunan mutu kerja dan mutu pelayanan publik. Sebagai gambaran, aparatur di Aceh selama ini cenderung enggan melakukan perubahan dan inovasi. Hal ini karena iklim dan kondisi dalam organisasi birokrasi yang cederung memberikan insentif kepada pegawai yang loyal dari pada pegawai yang kreatif dan inovatif.
Padahal birokrasi dituntut lebih peka terhadap berbagai perubahan dan mencari pendekatan baru bagi pengembangan pelayanan kepada publik. Serta meninggalkan proses pelayanan yang sangat prosedural dan birokratis. Keberadaan aturan formal bukan dijadikan alasan untuk tidak memperbaiki cara kerja yang responsif serta bermain diatas aturan guna mensahkan setiap tindakan.
Pekerjaan yang sebetulnya dapat dikerjakan secara cepat dan singkat dibuat menjadi lama dan memerlukan biaya besar. Berkaitan dengan teridentifikasinya sedikit patologi diantara sekian banyak patologi birokrasi dalam pemerintahan di Aceh yang pada akhirnya membuat birokrasi menjadi tidak responsif dan inovatif.
Barangkali sudah saatnya Pemerintah Aceh siapapun gubernur yang terpilih nantinya perlu lebih serius membenahi kinerja organisasi birokrasi pemerintah dan meraih kembali kepercayaan masyarakat yang sempat mengalami krisis.
Mengingat urgensitas peran aparatur dalam menyelenggarakan fungsinya, perlu kiranya dicari dan dirumuskan suatu pendekatan strategis untuk membangun wajah baru aparatur profesional di Aceh Aparatur yang handal, tanggap, inovatif fleksibel dan tidak prosedural dalam memberikan pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan.
Peran Pemerintah Aceh yang selama ini sebagai rule perlu diganti dengan fasilisator. Fasilisator mewirausahakan birokrasi, yang memperkenalkan paradigma baru dengan menempatkan birokrasi sebagai fasilitator.
Walaupun upaya untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang responsif dan inovatif dengan memposisikan diri sebagai fasilitator bukan pekerjaan yang mudah, namun upaya untuk mewujudkan cita cita tersebut tetap harus diupayakan demi memberikan pelayanan yang baik kepada publik dan mampu memperbaiki citra birokrasi pemerintah Aceh yang selama ini banyak menimbulkan citra negatif dan telah kehilangan legitimasi dimata masyarakat.
Rakyat Aceh sangat mengharapkan kepada gubernur terpilih nantinya suatu perobahan birokrasi yang handal yang peduli kepada kepetingan rakyat dan mengesampingkan kepentingan yang lain. Makanya sebelum yang lain dilakukan citra aparatur birokrasi perlu lebih dulu dirobah agar menjadi lebih baik, bertanggungjawab dan dipercaya. Semoga.
Penulis : Usman Cut Raja
Kualitas Aparatur Birokrasi Dalam Pemerintahan Aceh Harus Dikedepankan
Banda Aceh, newsataloen.com -;Banyaknya kritikan terhadap kinerja aparatur birokrasi pemerintahan di Aceh belakangan ini tidak terlepas dari masih rendahnya pengatahuan kalangan aparatur terhadap pemahaman tentang fungsi dan tugas yang diemban.
Dalam hubungan ini sebagai upaya untuk memperbaiki berbagai kelemahan maka diperlukan sebuah pemikiran untuk membangun aparatur birokrasi Aceh yang handal, profesional dan menjunjung tinggi nilai kejujuran serta etika profesi dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara pembangunan dan penyelenggara pelayanan publik
Banyak Gubernur yang telah memimpin Aceh dan setiap pergantian gubernur yang pertama dilakukan merombak pembantunya sebagai upaya mengikuti pola organisasi birokrasi moderen berdasarkan pembagian kerja, hirarki kewengan dan impersonalitas hubungan. Ini dilakukan untuk mencari pejabat yang memiliki kemampuan teknis dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penyelenggara administrasi pemerintahan.
Namun harapan terhadap orang orang yang sebelumnya telah digodok melalui propertest semula dinyakini mampu mejalankan tugas atau pekerjaan, baik yang berkaitan dengan pelayanan dan kemampanan organisasi maupun dalam hal keahlian teknis yang bertanggung jawab belum sepenuhnya tercapai.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan birokrasi pemerintahan di Aceh macet yaitu masih rendahnya motivasi untuk melakukan perubahan dikalangan aparatur. Mareka umumnya belum proposional dalam bidang tugas yang diemban. Bahkan mareka banyak belum faham tentang birokrasi berdasarkan hirarki kewenangan yang memungkinkan terjadinya kontrol yang efektif dan kinerja yang positif.
Mareka belum mengetahui terhadap kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan puncak didesentralisasikan kepada pimpinan pelaksana. Bukankah struktur yang telah didesentralisasikan tersebut memungkinkan terciptanya birokrasi profesional yang berdampak kepada peningkatakan kinerja organisasi dimana birokrasi dapat menjadi bertanggung-gugat dengan adanya kewenangan yang didelegasikan tersebut.
Dengan adanya keteraturan cara kerja yang terikat kepada peraturan yang ada akan menjamin tercapainya kesinambungan tugas serta peran pemerintahan. Namun jika aturan main tersebut diterapkan secara kaku maka akan melahirkan birokrasi tidak profesional dan tidak responsif.
Apabila birokrasi tidak terlalu terikat kepada petunjuk pelaksana dan aturan baku sebuah tugas tapi lebih digerakkan oleh misi yang ingin dicapai maka akan terwujud birokrasi profesional yang menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, inovatif, dan mempunyai etos kerja tinggi
Pemerintahan Aceh siapapun yang menjadi gubernur akan selalu dituntut bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan baik (good governance and clean government). Birokrasi yang diharapkan mampu menjadi motivator dan sekaligus menjadi katalisator dari bergulirnya pembangunan.
Dalam menjalankan birokrasi modern tidak hanya mengedepankan kemampuan tugas dan fungsi organisasi saja tetapi juga mampu merespons aspirasi publik kedalam kegiatan dan program organisasi dan mampu melahirkan inovasi baru yang bertujuan untuk mempermudah kinerja organisasi dan sebagai bagian dari wujud aparat yang profesional.
Di era pemerintahan Aceh sebelum sebelumnya memang sudah terlanjur tanpa arah yang jelas dalam menjalankan administrasi publik. Misalnya perilaku dan gaya manajetarial yang sering digunakan oleh manajemen puncak pada hirarki organisasi publik.
Gaya manajerial dan leadership yang bersifat feodalistik dan partnerlistik berpengaruh besar terhadap kinerja organisasi sehingga jajaran birokrasi tingkat menengah dan bawah takut untuk melakukan dan mengambil langkah langkah baru dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
Rendahnya keinginan melakukan perubahan dan inovasi juga disebabkan oleh gaya manajerial yang tidak kondusif bagi terciptanya birokrasi yang responsif dan inovatif. Tidak mengherankan jika kemampuan kerja organisasi dan jajarannya menjadi rendah.
Dalam pandangan manajemen puncak “pro status-quo” seperti itu, segala perubahan yang terjadi baik dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi komputer, teknologi informasi, dianggap sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan karier dan jabatannya.
Baik-buruknya pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi sangat terkait dengan kemampuan dan kualitas dari birokrasi itu sendiri. Kemampuan birokrat pemerintahan selain dibentuk melalui pengembangan dan peningkatan pengetahuan dan keahlian individu juga sangat dipengaruhi oleh sistem organisasi tersebut seperti orientasi kerja, struktur organisasi, model kepemimpinan serta renumerasi yang diterima oleh aparatur.
Hal lain yang menjadi penyebab gagalnya sistim birokrasi pemerintahan di Aceh adalah dimana proses penempatan pejabat baru seringkali mengabaikan aspek meritokrasi dan kebutuhan organisasi. Tidaklah mengherankan jika dalam praktek, birokrasi selama ini sering kewalahan dalam mengantisipasi setiap perubahan dan aspirasi baru.
Dampak dari itu adalah terjadinya penurunan mutu kerja dan mutu pelayanan publik. Sebagai gambaran, aparatur di Aceh selama ini cenderung enggan melakukan perubahan dan inovasi. Hal ini karena iklim dan kondisi dalam organisasi birokrasi yang cederung memberikan insentif kepada pegawai yang loyal dari pada pegawai yang kreatif dan inovatif.
Padahal birokrasi dituntut lebih peka terhadap berbagai perubahan dan mencari pendekatan baru bagi pengembangan pelayanan kepada publik. Serta meninggalkan proses pelayanan yang sangat prosedural dan birokratis. Keberadaan aturan formal bukan dijadikan alasan untuk tidak memperbaiki cara kerja yang responsif serta bermain diatas aturan guna mensahkan setiap tindakan.
Pekerjaan yang sebetulnya dapat dikerjakan secara cepat dan singkat dibuat menjadi lama dan memerlukan biaya besar. Berkaitan dengan teridentifikasinya sedikit patologi diantara sekian banyak patologi birokrasi dalam pemerintahan di Aceh yang pada akhirnya membuat birokrasi menjadi tidak responsif dan inovatif.
Barangkali sudah saatnya Pemerintah Aceh siapapun gubernur yang terpilih nantinya perlu lebih serius membenahi kinerja organisasi birokrasi pemerintah dan meraih kembali kepercayaan masyarakat yang sempat mengalami krisis.
Mengingat urgensitas peran aparatur dalam menyelenggarakan fungsinya, perlu kiranya dicari dan dirumuskan suatu pendekatan strategis untuk membangun wajah baru aparatur profesional di Aceh Aparatur yang handal, tanggap, inovatif fleksibel dan tidak prosedural dalam memberikan pelayanan dan penyelenggaraan pembangunan.
Peran Pemerintah Aceh yang selama ini sebagai rule perlu diganti dengan fasilisator. Fasilisator mewirausahakan birokrasi, yang memperkenalkan paradigma baru dengan menempatkan birokrasi sebagai fasilitator.
Walaupun upaya untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan yang responsif dan inovatif dengan memposisikan diri sebagai fasilitator bukan pekerjaan yang mudah, namun upaya untuk mewujudkan cita cita tersebut tetap harus diupayakan demi memberikan pelayanan yang baik kepada publik dan mampu memperbaiki citra birokrasi pemerintah Aceh yang selama ini banyak menimbulkan citra negatif dan telah kehilangan legitimasi dimata masyarakat.
Rakyat Aceh sangat mengharapkan kepada gubernur terpilih nantinya suatu perobahan birokrasi yang handal yang peduli kepada kepetingan rakyat dan mengesampingkan kepentingan yang lain. Makanya sebelum yang lain dilakukan citra aparatur birokrasi perlu lebih dulu dirobah agar menjadi lebih baik, bertanggungjawab dan dipercaya. Semoga.
Penulis : Usman Cut Raja
Via
kabar daerah
Post a Comment