![]() |
| Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Menandai satu tahun kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto,Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (SPBI) Dr. Iswadi, M.Pd yang juga akademisi dan pengamat kebijakan publik asal Aceh, menyerukan agar pemerintah pusat segera menunjukkan komitmen politik yang tegas dengan mengimplementasikan seluruh butir Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) secara utuh dan menyeluruh.
MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Finlandia merupakan tonggak penting dalam perjalanan sejarah Aceh dan Indonesia secara keseluruhan. Perjanjian damai tersebut berhasil mengakhiri konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia. Namun, dua dekade pasca penandatanganan, masih banyak pasal dalam perjanjian yang belum terealisasi secara penuh.
Dr. Iswadi, masuknya pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo memberikan harapan baru sekaligus menjadi ujian terhadap konsistensi negara dalam merawat perdamaian. Ia menekankan bahwa pelaksanaan MoU bukan hanya soal politik lokal, melainkan bagian dari pemenuhan hak hak masyarakat Aceh yang telah lama menaruh kepercayaan pada komitmen negara.
'Perjanjian Helsinki bukanlah sekadar kesepakatan damai jangka pendek, melainkan sebuah fondasi keadilan yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Implementasinya adalah ukuran keberpihakan negara terhadap daerah bekas konflik,"ujar Dr. Iswadi dalam pernyataan resminya kepada awak media, Selasa (21/10/2025).
Dalam catatan Dr. Iswadi, sejumlah butir penting dalam MoU Helsinki yang belum diimplementasikan secara optimal antara lain Penguatan Otonomi Khusus Aceh: Banyak aspek kewenangan daerah yang masih dibatasi oleh regulasi nasional, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dan penetapan kebijakan fiskal daerah.
Kemudian Sengketa Wilayah: Persoalan batas administratif seperti sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara menjadi bukti lemahnya keberpihakan terhadap substansi MoU yang telah menetapkan batas wilayah Aceh secara historis dan hukum. Kemudian Demiliterisasi dan Pengurangan Pasukan Non Organik: Masih terdapat kehadiran aparat keamanan dalam jumlah besar di wilayah wilayah tertentu, yang bertentangan dengan semangat MoU yang menekankan pada normalisasi keamanan secara sipil.
Selanjutnya Rehabilitasi dan Reintegrasi: Program rehabilitasi korban konflik serta reintegrasi mantan kombatan dan tahanan politik belum dilaksanakan secara merata dan berkeadilan. Banyak korban konflik yang belum mendapatkan haknya, baik dalam bentuk kompensasi maupun jaminan sosial.
Dr. Iswadi mendorong agar Presiden Prabowo membentuk Tim Evaluasi Independen untuk menilai capaian dan kekurangan implementasi MoU Helsinki, sekaligus merekomendasikan langkah langkah konkret dalam mempercepat pelaksanaannya. Tim ini, menurutnya, harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat Aceh, organisasi masyarakat sipil, akademisi, serta unsur pemerintah pusat dan daerah.
"Kita tidak bicara soal menagih janji, tapi soal menjaga martabat dan kepercayaan masyarakat Aceh yang telah memilih jalan damai. Bila negara serius ingin menjaga stabilitas nasional, maka kewajiban moral dan konstitusional ini harus dituntaskan,"lanjut Dr. Iswadi.
Alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut juga menyoroti pentingnya partisipasi publik dalam proses ini. Menurutnya, keberhasilan MoU tidak dapat hanya bergantung pada elit politik, tetapi juga membutuhkan pelibatan aktif masyarakat sipil dalam mengawal implementasi dan memastikan kebijakan menyentuh kebutuhan riil masyarakat.
Memasuki tahun pertama pemerintahan Prabowo, Dr. Iswadi berharap semangat perubahan yang diusung pemerintah baru tidak sekadar retorika, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan nyata. Implementasi MoU Helsinki adalah bagian dari tanggung jawab sejarah sekaligus investasi jangka panjang dalam menjaga stabilitas nasional. (rel/rizal jibro).

Post a Comment