![]() |
| Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Pendidikan bagi Dr. Iswadi bukan sekadar proses pengajaran dan pengambilan nilai, melainkan wahana pembentukan manusia seutuhnya manusia yang punya karakter, moral, rasa keadilan, dan kesempatan yang sejajar. Namun, dalam pengamatannya, sistem pendidikan kita kini telah memasuki sebuah lorong meritokrasi yang semula dimaksud untuk memacu prestasi menjadi ruang yang justru meminggirkan banyak anak bangsa. Dalam lorong itu, pendidikan menjadi perlombaan nilai dan ranking, bukan proses tumbuh kembang yang manusiawi.
Meritokrasi pada dasarnya adalah prinsip yang bagus: mereka yang memiliki bakat, usaha, dan kompetensi mendapat kesempatan dan penghargaan. Tetapi, ketika diterapkan tanpa mempertimbangkan konteks sosial ekonomi, latar belakang wilayah, akses, dan keadaban, meritokrasi malah berubah menjadi jebakan struktural.
Dr. Iswadi melihat bahwa di banyak sekolah, nilai ujian, peringkat, akreditasi, dan prestasi akademik menjadi tolok ukur utama, sementara aspek lain seperti karakter, kreativitas, inklusivitas atau proses pembelajaran yang bermakna menjadi terpinggirkan.
Dalam pandangannya, kalau sistem pendidikan terus berjalan dengan logika yang terbaik yang lolos, maka akan banyak siswa yang terabaikan bukan karena mereka tidak mau berusaha, tetapi karena kondisi mereka tidak sebanding. Sebagai contoh, sekolah di daerah terpencil kekurangan guru, fasilitas, atau akses, sementara di perkotaan semua fasilitas tersedia.
Maka bisa jadi seorang anak di wilayah terpencil punya potensi besar, namun tidak bisa bersaing bila tolok ukur yang dipakai adalah merata dan keras ke arah siapa paling unggul . Ini berarti pendidikan kita tersesat di lorong meritokrasi yakni, memasuki ruang di mana hanya mereka yang bisa menang paket prestasi yang dipandang, sementara sisanya dilewati dan dilupakan.
Dr. Iswadi juga menyoroti bahwa sistem meritokrasi yang berjalan tanpa kontrol bisa memperkuat ketimpangan. Sekolah unggul semakin unggul karena sumber daya, siswa yang punya akses, dukungan orang tua, sedangkan sekolah tertinggal semakin tertinggal. Di sini, pendidikan menjadi bukan hanya soal memfasilitasi potensi anak, tetapi juga soal memperkuat jaringan ketidakadilan yang sudah ada.
Dengan demikian, meritokrasi yang diklaim adil justru menjadi sistem yang menegaskan siapa yang beruntung sejak awal. Dr. Iswadi mengingatkan bahwa pendidikan harus memperhitungkan latar belakang dan peluang. tidak, meritokrasi hanya menjadi jargon kosong.
Lebih jauh, Dr. Iswadi menegaskan bahwa tujuan pendidikan seharusnya bukan hanya menghasilkan lulusan dengan gelar atau nilai tinggi, tetapi manusia yang bermartabat, bertanggung jawab, punya karakter, dan mampu berkontribusi terhadap masyarakat. Namun kini, sistem mengejar kuantitas output: ranking sekolah, nilai ujian, akreditasi, seleksi tinggi rendah sangat kuantitatif.
Proses belajar, diskusi, berfikir kritis, membangun karakter, justru sering dipendekkan. Ini menimbulkan risiko besar: anak-anak kita tumbuh menjadi “pemburu nilai” bukan “pembelajar sejati. Menurut Dr. Iswadi, pendidikan yang tersesat di lorong meritokrasi akan menghasilkan generasi yang pintar di angka dan ranking, tetapi rapuh secara moral, kurang percaya diri, dan mudah terbuang ketika tidak masuk kategori yang diunggulkan.
Dr. Iswadi juga mengaitkan isu ini dengan pengelolaan guru dan sistem anggaran. Sebagai kritikus tajam, ia mengatakan bahwa sistem manajemen dan distribusi tenaga pendidik, serta pemanfaatan anggaran 20 % pendidikan, seringkali tidak mencerminkan komitmen substantif melainkan pemenuhan formalitas.
Ia menyebut bahwa bila semua aktivitas pendidikan hanya diukur dari hasil kompetisi akademik maka guru pun akan terdorong untuk “mengajar agar lolos rating” bukan “mendidik untuk tumbuh”. ***

Post a Comment