![]() |
| Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Kepastian hukum merupakan fondasi utama dalam penyelenggaraan negara hukum yang adil dan beradab. Tanpa kepastian hukum, seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara rentan dilanda kekacauan, tumpang tindih regulasi, dan lemahnya penegakan hukum. Hal inilah yang menjadi sorotan utama Dr. Iswadi, seorang akademisi dan pengamat hukum tata negara, dalam sejumlah pernyataan publiknya baru-baru ini.
Menurut Dr. Iswadi, Indonesia tengah berada di persimpangan jalan yang krusial dalam sejarah ketatanegaraan. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, bertabrakan satu sama lain, bahkan bertentangan dengan semangat konstitusi, menjadi alarm serius yang tak bisa diabaikan. Situasi ini, menurutnya, bukan hanya disebabkan oleh lemahnya proses legislasi, melainkan juga oleh adanya perubahan besar terhadap konstitusi itu sendiri pascareformasi 1998.
“Reformasi memang membawa semangat demokratisasi, tetapi dalam pelaksanaannya, amandemen terhadap UUD 1945 telah membuat kita menyimpang dari jati diri dan cita-cita awal pendiri bangsa,” tegas Dr. Iswadi dalam wawancara khusus dengan awak media melalui telepon seluler.
Ia menjelaskan bahwa sejak UUD 1945 diamandemen empat kali antara tahun 1999 hingga 2002, struktur ketatanegaraan Indonesia berubah secara drastis. Sistem presidensial bercampur dengan sistem parlementer, lembaga negara baru dibentuk tanpa kejelasan relasi antarlembaga, serta prinsip musyawarah yang dahulu menjadi ciri khas bangsa tergantikan oleh dominasi suara mayoritas.
Lebih dari itu, lanjut Dr. Iswadi, perubahan pasal demi pasal dalam UUD telah membuka ruang bagi liberalisasi politik dan ekonomi yang tidak sejalan dengan semangat keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Ketimpangan sosial-ekonomi, konflik kepentingan dalam legislasi, serta menjamurnya praktik hukum yang transaksional hanyalah sebagian dari akibatnya. Mengapa hukum begitu mudah dibelokkan?
"Karena fondasi konstitusionalnya rapuh. Kita telah meninggalkan naskah asli UUD 1945 yang seharusnya menjadi sumber nilai dan arah kebijakan negara,” paparnya.
Dr. Iswadi tidak sendiri. Gagasan untuk kembali ke UUD 1945 yang asli telah digaungkan sejumlah tokoh bangsa sejak beberapa tahun terakhir. Namun, suara mereka sering kali tenggelam oleh wacana politik praktis yang lebih menonjolkan kepentingan sesaat.
Meski begitu, Dr. Iswadi tetap konsisten menyuarakan perlunya kembali ke UUD 1945 yang murni dan konsisten. Bagi dia, naskah asli UUD 1945 bukan sekadar dokumen hukum, melainkan manifestasi dari kehendak kolektif bangsa yang ingin membentuk negara berdaulat, adil, dan bermartabat.
“Kita perlu kembali ke UUD 1945 yang asli, bukan karena romantisme sejarah, tapi karena di dalamnya terkandung prinsip-prinsip fundamental yang dapat menyelamatkan bangsa dari kekacauan hukum,” ungkapnya dengan tegas.
Ia menekankan bahwa UUD 1945 yang asli tidak berarti menutup diri dari perkembangan zaman. Justru sebaliknya, dengan tafsir yang bijak dan penyesuaian bertahap melalui ketetapan MPR, UUD tersebut bisa menjadi payung hukum yang adaptif namun tetap menjaga roh kebangsaan.
Dr. Iswadi menggarisbawahi tiga poin penting dari UUD 1945 asli yang menurutnya sangat relevan untuk menjawab krisis hukum saat ini:
Misalnya Kedaulatan Rakyat yang Terpimpin Dalam UUD 1945 asli, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Model ini memberi ruang bagi musyawarah mufakat dan mencegah dominasi segelintir elite.
Kemudian Sistem Lembaga Negara yang Saling Mengisi Struktur ketatanegaraan yang digagas dalam UUD 1945 asli mencerminkan harmoni antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tanpa saling meniadakan. Hal ini sangat berbeda dengan sistem sekarang yang cenderung menghasilkan konflik antarlembaga. (red/rj).

Post a Comment