Oleh: Teuku Saifuddin Alba
newsataloen.com - Provinsi Aceh dikenal luas sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan Syariat Islam secara formal. Julukan "Serambi Mekkah" bukan sekadar nama, melainkan cerminan identitas sejarah dan budaya masyarakat Aceh yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Namun kini, wajah Aceh yang seharusnya bercahaya dengan cahaya Syariat, mulai tercoreng oleh perilaku sebagian warganya sendiri.
Ironisnya, ini terjadi di tengah kebisuan pemerintah yang seakan-akan tidak lagi peduli. Di tengah masyarakat yang religius, muncul fenomena baru yang mencemaskan: maraknya konten-konten media sosial yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama. Baik di Facebook, TikTok, maupun platform digital lainnya, kita disuguhkan pemandangan yang memalukan,laki-laki dan perempuan Aceh mempertontonkan gaya bicara kasar, tarian yang membuka aurat, hingga candaan tak senonoh yang jelas bertentangan dengan Syariat. Seolah Aceh bukan lagi wilayah yang dituntut taat pada hukum Allah, melainkan bebas sebebas-bebasnya mengadopsi budaya luar yang merusak.
Bukan Lagi Rahasia Umum
Fenomena ini bukan lagi hal tersembunyi. Ia menjadi konsumsi publik. Bahkan tidak jarang konten tersebut menjadi viral, mendapat ribuan penonton dan komentar. Tapi yang membuat hati benar-benar teriris adalah saat konten itu dibuat oleh anak-anak muda Aceh—yang seharusnya menjadi penerus Syariat, justru menjadi pelanggar terang-terangan.
Mirisnya, sebagian dari mereka bahkan dengan bangga menyebut diri sebagai "anak Aceh" atau "putra daerah", padahal mereka tengah menjatuhkan martabat daerahnya sendiri.
- Di Mana Pemerintah?
- Pertanyaan besar pun muncul: Ke mana Pemerintah Provinsi Aceh?
- Mengapa seolah tak ada langkah tegas?
- Apakah fungsi Dinas Syariat Islam hanya sekadar seremoni dan simbolik?
- Apakah hanya masyarakat kecil yang ditindak, sementara pelanggaran daring yang terang-terangan dibiarkan begitu saja?
Masyarakat menunggu tindakan nyata. Karena bila dibiarkan, ini akan menjadi virus moral yang menular cepat dan mematikan. Apa yang bisa kita harapkan dari generasi muda, bila setiap hari yang mereka lihat di media sosial adalah kebebasan tanpa batas? Bila setiap pelanggaran agama dianggap biasa? Bila tak ada otoritas yang bertindak menegakkan nilai?
Pemerintah Aceh semestinya sadar bahwa Syariat Islam bukan hanya persoalan hukum cambuk di lapangan atau razia di warung kopi. Ia adalah sistem nilai yang harus dijaga, ditanamkan, dan ditegakkan dalam semua aspek kehidupan—termasuk di dunia digital. Maka, harus ada kebijakan yang lebih progresif dalam pengawasan dan penertiban konten-konten tidak bermoral di media sosial.
Kolaborasi antara Dinas Syariat Islam, Kominfo Aceh, dan aparat hukum sangat diperlukan. Bukan berarti pemerintah harus represif dan melanggar kebebasan berekspresi. Tetapi ketika ekspresi itu melanggar norma agama, merusak moral publik, bahkan menjadikan Aceh bahan ejekan di luar, maka negara tidak boleh tinggal diam. Apalagi di Aceh, Syariat Islam bukanlah pilihan, tetapi aturan bersama yang telah disepakati.
Kita Semua Bertanggung Jawab
Namun jangan hanya menyalahkan pemerintah. Kita sebagai masyarakat Aceh juga punya andil. Kita perlu saling mengingatkan, mendidik anak-anak kita, dan memperkuat komunitas-komunitas dakwah yang sehat. Jangan beri panggung kepada para pencari sensasi. Jangan dukung konten mereka dengan like, share, atau komentar yang justru memperluas penyebarannya.
Mulailah dari rumah. Bangun budaya malu. Bangun rasa cinta pada marwah Aceh. Ajarkan bahwa menjadi "anak Aceh" bukan hanya soal bahasa dan tanah kelahiran, tetapi soal adab dan kehormatan.
Menjaga Aceh adalah Ibadah
Aceh bukan provinsi biasa. Ia telah diberi amanah yang besar sebagai provinsi bersyariat. Maka menjaga Aceh adalah bagian dari ibadah. Diam saat kemungkaran merajalela bukanlah pilihan. Karena sejarah akan mencatat: siapa yang peduli dan siapa yang membiarkan.
Semoga tulisan ini menjadi renungan bagi kita semua. Bukan untuk saling menyalahkan, tapi untuk sama-sama bangkit menjaga harga diri Aceh. Jangan biarkan Serambi Mekkah berubah menjadi Serambi Maksiat hanya karena kita semua terlalu sibuk atau terlalu takut bersuara. ***

Post a Comment