Aceh, newsataloen.com - Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, menandai akhir dari konflik berkepanjangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Kesepakatan ini membawa harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk hidup dalam perdamaian dan pembangunan. Dan pada 15 Agustus 2025 sebentar lagi berarti sudah 20 tahun damai Aceh yang setiap tahunnya diperingati sebagai mengenang betapa kondisi dan suasana saat perang berkecamuk.
Dalam kurun waktu damai tersebut bagi rakyat Aceh tentu sudah merasakan betapa nikmatnya suasana damai. Tidak ada lagi rasa takut, was was atau khawatir dalam bepergian.
Namun dalam kurun waktu suasana damai tersebut pula mungkin banyak diantara kita ikut menyaksikan berbagai didamika sosial dan politik yang tidak damai. Dapat dibaca, apakah semua yang terjadi belakangan ini sebagai sinyal perdamaian yang belum sepenuhnya damai.atau memang sudah ciri khas diantara kita untuk sulit rukun.
Kenapa kita mudah lupa, kalau yang namanya pertikaian, pertengkaan dan tidak rukun ujungnya rugi. Menydihkan memang, entah sudah nasib bagi Rakyat Aceh kalau pemimpinnya di era damai ini, mulai tingkat gampong hingga elit elit puncak di propinsi dalam kondisi tidak rukun. Kenapa kita belum juga sadar bila suasana gontokan akan sangat mudah dipolitisir menjadi muatan politik yang bertendensi konflik.
Mestinya perbedaan pemikiran dan persepsi politis tidak muncul dalam ruang publik secara blablakan’. Apalagi kisarannya konflik hanya berputar pada kepentingan yang sama secara berulang-ulang. Ngerinya lagi tidak rukun sudah tercover oleh media secara terbuka dimana antar pihak yang bertikai, seperti mempermainkan perdamaian.
Berulangnya konflik antar elit hari ini, akan memicu macetnya pembangunan. Damai menjadi mainan politik, semakin tinggi pemahaman damai secara politik, semakin tinggi pula peran mereka dalam ayunan doda idi nanggroe menjadi suasana yang gamang.
Harusnya dalam dinamika roda pemerintahan yang telah berjalan selama ini, semua yang mengarah kepada ketidakstabilan politik dalam nanggroe sudah terkikis habis. Bahkan kebijakan Jakarta dengan terus bersahabat disertai kucuran dana yang melimpah menjadi peluang bagi mempercepat kemakmuran nanggroe seperti yang tertuang dalam UUPA.
Namun yang terjadi dan berkembang bukannya makmur dan tenteram yang terbangun melainkan mengarah kepada tidak rukun.
Disisi lain dengan kucuran dana‘yang melimpah tersebut apa yang terlihat selain rakyat yang terus terhimpit kemiskian. Mestinya kita bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan yang sedang terjadi, dalam arti kita juga harus instospeksi , melakukan evaluasi atas kinerja kita selama ini.
Apakah karunia Allah SWT dalam menggapai perdamaian yang disertai guyuran dana yang melimpah telah benar benar kita jalankan menurut yang diamanahkan? Apakah dana melimpah itu telah kita jadikan fondasi bagi kemakmuran Aceh, apakah tata kelola dana sudah tepat guna untuk rakyat di semua lini baik kota maupun gampong?.
Semua pertanyaan pertayaan tersebut mungkin tidak terjawab, karena di tataran elit hingga hari ini belum rukun. Amanah UUPA masih belum sepenuhnya berjalan.. Begitu juga cita cita menjadikan Aceh sebagai negeri bersyariat yang madani tinggal mimpi.
Maka sudah semestinya kita tidak menafikan persoalan negeri sendiri yang carut marut dengan bertindak sebagai orang yang tidak melihat gajah dipelupuk mata, namun bisa melihat semut di seberang lautan. Kita jangan munafik atas realitas karunia yang didapat dengan tidak mengoptimalkan dalam membangun basis perdamaian dan kemakmuran.
Al Qur’an, Surat Ali Imron ayat 103. terjemahannya : “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu orang orang bersaudara karena nikmat Allah”
Ketika amanah rakyat kepada para pemimpin tidak diindahkan maka Allah bisa berkehendak kepada siapapun yang tidak mau bersyukur
Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, menandai akhir dari konflik berkepanjangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Kesepakatan ini membawa harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk hidup dalam perdamaian dan pembangunan.
Sekarang, pada 15 Agustus 2025, Aceh akan memperingati 20 tahun perdamaian setelah penandatanganan MoU Helsinki. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara akan menggelar dzikir dan doa bersama pada Jumat, 15 Agustus 2025, setelah salat subuh di Lapangan Upacara Kantor Bupati Aceh Utara.
Kegiatan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk santri, siswa, guru, camat, geuchik, ASN, pejabat pemerintah, ulama, dan tokoh masyarakat. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara menggelar dzikir akbar untuk mengenang perjalanan panjang menuju perdamaian Aceh.
Kegiatan ini menjadi simbol kebersamaan dan komitmen untuk menjaga perdamaian yang telah diraih. Dzikir akbar juga menjadi momen penting untuk memperkuat spiritualitas dan persaudaraan antarwarga ³.
Oleh karena itu, penting bagi generasi muda Aceh untuk memahami sejarah dan makna perdamaian, serta berperan aktif dalam membangun masa depan yang lebih baik.
Penulis : Usman Cut Raja

Post a Comment