![]() |
| Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi Republik Indonesia. Namun, pada kenyataannya, anak-anak penyandang disabilitas masih sering menghadapi kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak dan setara. Dalam konteks ini, gagasan Sekolah Rakyat yang diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto memiliki potensi besar untuk memperluas akses pendidikan dari akar rumput.
Namun, Dr. Iswadi, pakar pendidikan nasional dan alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, menegaskan bahwa Sekolah Rakyat harus benar-benar menjadi ruang inklusif yang mengakomodasi kebutuhan siswa disabilitas.Menurut Dr. Iswadi, Sekolah Rakyat bukan sekadar alternatif pendidikan nonformal, melainkan harus menjadi wadah yang menghormati keberagaman dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak. Selama ini, anak penyandang disabilitas masih banyak yang terpinggirkan akibat minimnya fasilitas pendukung, kurangnya pelatihan bagi guru, serta rendahnya pemahaman tentang pendidikan inklusif.
Ia menegaskan bahwa inklusivitas dalam pendidikan bukanlah soal belas kasihan, tetapi sebuah kewajiban negara sesuai amanat konstitusi dan prinsip keadilan sosial.
Dr. Iswadi menekankan bahwa agar Sekolah Rakyat benar-benar inklusif, dibutuhkan kebijakan konkret dan dukungan menyeluruh dari pemerintah. Fasilitas fisik yang ramah disabilitas seperti akses kursi roda, ruang belajar yang mudah dijangkau, serta alat bantu belajar harus menjadi standar minimal.
"Selain itu, guru dan relawan yang mengajar di Sekolah Rakyat wajib mendapatkan pelatihan intensif terkait metode pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus agar proses belajar dapat berjalan efektif," kata Iswadi dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).
Kendala yang masih terjadi saat ini, lanjut Dr. Iswadi, adalah banyak Sekolah Rakyat yang beroperasi tanpa pendamping ahli pendidikan inklusif, tanpa alat bantu yang memadai, dan tanpa kurikulum yang dirancang untuk menyambut keberagaman peserta didik. Jika tidak diperbaiki, Sekolah Rakyat justru berisiko mengulangi kegagalan sistem pendidikan formal yang selama ini tidak mampu mengakomodasi anak disabilitas.
Lebih jauh, Dr. Iswadi mengingatkan bahwa tanggung jawab atas pendidikan inklusif tidak boleh sepenuhnya dibebankan pada masyarakat atau lembaga nonformal. Pemerintah harus hadir secara nyata dengan menyediakan regulasi dan anggaran yang memadai agar program Sekolah Rakyat dapat berjalan efektif dan menjangkau kelompok yang paling rentan.
Selain aspek teknis, Dr. Iswadi juga menekankan pentingnya kemitraan aktif antara pemerintah dan organisasi penyandang disabilitas. Suara dan pengalaman komunitas disabilitas harus menjadi pijakan utama dalam perumusan kebijakan dan program pendidikan. Tanpa partisipasi mereka, kebijakan pendidikan akan sulit mencerminkan kebutuhan sesungguhnya.
Dr. Iswadi juga memandang investasi dalam pelatihan pendidik inklusif dan penyediaan fasilitas serta alat bantu sebagai investasi jangka panjang yang tidak hanya memenuhi hak asasi manusia, tapi juga mendorong pengembangan potensi anak difabel secara optimal. Pendidikan sejatinya soal martabat dan keadilan, bukan hanya sekadar angka partisipasi atau kelulusan.
Ia mengingatkan bahwa keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari siapa saja yang diizinkan duduk bersama dalam ruang belajar. Jika Sekolah Rakyat gagal mengakomodasi siswa penyandang disabilitas, maka akan tercipta diskriminasi baru yang halus namun sama menyakitkannya.
Harapan Dr. Iswadi terhadap Sekolah Rakyat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo ini sejalan dengan semangat gotong royong dan solidaritas yang menjadi nilai luhur bangsa Indonesia. Sekolah Rakyat inklusif diharapkan menjadi contoh nyata pendidikan kerakyatan yang menjawab kebutuhan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Sebagai penutup, Dr. Iswadi menegaskan bahwa pemerintah harus segera mengambil langkah nyata dengan mewajibkan penerapan prinsip inklusi dalam seluruh program pendidikan nonformal. (red/rj)

Post a Comment