/> Opini: Menjelang Pilpres 2024 Polarisasi harus Dijadikan musuh Bersama

Opini: Menjelang Pilpres 2024 Polarisasi harus Dijadikan musuh Bersama

         
                          
                                

Dr. Iswadi,M.Pd
                                                                                                

Pemilihan presiden (pilpres) akan berlangsung pada Rabu, 14 Februari 2024 , tapi kehebohannya telah terjadi, bahkan sebelum pendaftaran calon presiden-wakil presiden kepada Komisi Pemilihan Umum. Permasalahan siapa presiden mendatang menjadi topik hangat di media massa dan media sosial.istilahcebong, kampret, kadrun seakan tak akan  berakhir? Pada akhirnya, apakah akan ada pemenang? Atau, di titik tertentu akan terjadi blending serta perkawinan campur sehingga melahirkan varian baru? Atau, di ujungnya, keduanya akan mati, bersamaan?

Masyarakat terbelah dengan istilah cebong dan kadrun  "Perang" antar-pendukung terjadi di berbagai media sosial. Perdebatan ini telah menguras energi masyarakat. Mereka lupa bahwa perdebatan ini tidak mengenyangkan, tidak menyejahterakan, dan tidak mencerdaskan, serta tidak ada hubungannya dengan cita-cita bangsa dan negara ini.Kita perlu memahami bahwa pemilihan presiden merupakan ritual rutin dalam berdemokrasi untuk menentukan dan menjamin pergantian pemimpin nasional secara periodik setiap 5 tahun sekali. Maka, bila pada 2024 diselenggarakan pemilihan presiden (lagi), hal tersebut bukanlah sesuatu yang istimewa. Momentum semacam ini harus terjadi di setiap negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tak terkecuali di Indonesia.Bangsa ini sebenarnya memahami bahwa demokrasi memuat nilai-nilai yang harus dijaga bersama. Salah satunya adalah kompetisi dan saling menghormati. 

Berkompetisi untuk menang dalam pemilihan umum merupakan hal yang pasti, tapi tetap harus menjaga martabat masing-masing dengan saling menghormati. Pihak yang menang segera merangkul yang kalah, yang kalah segera mendukung yang menang. Hal ini sudah dilakukan oleh Jokowi yang merangkul Lawan politik bergabung kedalam.kabinet 
Meskipun Polarisasi belum juga berakhir,kedepan perlu usaha semua pihak dengan hati yang tulus dan Iklas mengakhiri polarisasi karena akibat polarisasi ada hal yang lebih gawat,serta berbagai kerumitan persoalan bangsa ini seolah akan bisa begitu saja diselesaikan hanya dengan mengganti presiden. 

Masalah utang negara, pengangguran, penguasaan sumber daya alam, kemacetan, kemiskinan, kesenjangan, dan lain-lain seolah-olah akan berakhir bila presiden diganti. Ini adalah pikir yang sesat.

Apakah pada 2024  terjadi pergantian presiden atau tidak, hal-hal tadi masih tetap menjadi masalah bangsa dan negara ini. Siapa pun presidennya, negara ini akan tetap menghadapi masalah utang, kemiskinan, dan lain-lain itu ,Sesungguhnya, ada cara-cara yang tidak tepat yang dilakukan oleh presiden sekarang ini dalam strategi penyelesaian masalah maupun dalam menjawab kritik. Semestinya presiden menjelaskan secara arif soal belum dilaksanakannya janji-janji presiden saat kampanye. 

Masyarakat memahami bahwa, sejak dihapusnya Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, maka yang menjadi target kinerja presiden adalah program yang ditawarkan pada saat kampanye.
Bila hal-hal yang dikritik itu berkaitan dengan masalah yang belum teratasi atau semakin buruk, tidak memadai bila dijawab bahwa hal tersebut merupakan warisan pemerintahan sebelumnya.

Sejak dilantik sebagai presiden, masalah yang belum terselesaikan oleh pemerintah sebelumnya menjadi tanggung jawab pemerintah sekarang. Sebab, pemerintahan sekarang merupakan kelanjutan dari pemerintahan terdahulu yang memang sudah bermasalah. Tidak bisa mengajukan argumen bahwa masalah utang, kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya itu merupakan masalah pemerintah sebelumnya.

Begitu pun dengan para pengkritiknya. Asumsi bahwa mengganti presiden akan menyelesaikan masalah bangsa ini merupakan sesat pikir. Bila hal ini terus-menerus digulirkan, yang akan muncul adalah kekecewaan demi kekecewaan. Mereka lebih baik menunjukkan kelemahan atau kesalahan program pemerintah dan menawarkan alternatif solusinya. Marilah kita didik masyarakat dengan cara-cara yang cerdas, bukan dengan cara-cara pragmatis.Beberapa survei menyebutkan, masyarakat sudah muak dengan panasnya polarisasi. Masyarakat Indonesia dan menilai, buzzer dan influencer sebagai penyubur polarisasi.

 Mereka ada di dua kubu.Polarisasi bukan hanya di Indonesia. Di Amerika Serikat, juga cukup tajam. Terutama di era Presiden Donald Trump. Akarnya, jauh sebelum itu, lewat Partai Demokrat dan Republik.

Di Kongres dan Senat. tapi, berdasarkan penelitian PEW Research Center, sekarang sekat polarisasi itu sudah menipis. Di Kongres ke-92 tahun 1971-72 dan Kongres saat ini, kedua partai ini telah bergeser jauh dari pusat atau “karakter asli” mereka. Menjadi semakin abu-abu. Tumpang tindih. Demokrat menjadi agak Republik, Republik menjadi agak Demokrat.

Tentu membandingkan kondisi ini dengan polarisasi di Indonesia, tentu kurang tepat. Tapi, paling tidak, akan ada harapan untuk menghilangkan polarisasi ini. Walau butuh waktu, kemauan dan ketulusan serta upaya semua pihak.

Kalau tidak, pada Pemilu 2024, polarisasi akan terus memanas dan mengkhawatirkan. Karena, sekarang saja, ketika seorang tokoh bangsa berpulang, bukan hanya diiringi ucapan “Innalillahi… tapi juga ada sekelompok kecil yang mengucap “Alhamdulillah”.
Ini sungguh di luar akal sehat. Kalau sudah begini, mau dibawa kemana dan akan jadi apa bangsa ini ke depan. Sungguh mengerikan ,ujar Iswadi menegaskan, jika perebutan  kekuasaan terus terbelah dengsn istilah cebong dan kadrun maka bangsa ini telah tersandera dengan polarisasi  Oleh sebab itu, Polarisasi  harus dijadikan musuh bersama  dengan istilah keren nya  kita harus segera keluar dari Polarisasi dan bahu membahu membangun negeri kita tercinta secara gotong royong yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. (Penulis: Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (SPBI).

Post a Comment

Previous Post Next Post