
Mahmud Padang
Aceh, newsataloen.com - Lebih dari dua minggu sejak banjir bandang meluluhlantakkan Aceh dan sebagian wilayah Sumatera, penanganannya justru menampilkan absurditas khas republik ini, dimana negara yang lebih rajin meredam kritik ketimbang mengurus korban. Di tengah lumpur, pengungsian, dan ratusan jenazah yang dievakuasi, publik disuguhi drama demi drama yang seolah dirancang untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan utama, yakni lambatnya respons dan absennya kepemimpinan bencana.
Kisah itu bermula ketika Kepala BNPB menyebut banjir Aceh “tak parah” seperti yang ramai di media sosial. Pernyataan itu langsung dibakar kritik publik. Di lapangan, ribuan warga terjebak, jembatan rubuh, ratusan kilometer jalan terputus, dan listrik padam berhari-hari. Ketika tekanan meningkat, Kepala BNPB akhirnya meminta maaf, sebuah pola klasik ketika negara tidak siap, tetapi tetap berusaha terlihat menguasai keadaan.
Desakan agar bencana Aceh ditetapkan sebagai bencana nasional semakin lantang. Sejumlah negara, termasuk para pengusaha diaspora Aceh di Malaysia, menyampaikan kesiapan membantu tetapi terkendala status. Namun pemerintah pusat tetap bersikukuh bahwa Aceh masih “mampu menangani sendiri”. Klaim itu janggal jika melihat data di lapangan dan seruan keputusasaan dari daerah-daerah terdampak.
Beberapa kabupaten bahkan mengirim surat pernyataan ketidaksanggupan. Belakangan terungkap surat itu merupakan arahan Pemerintah Provinsi. Namun alih-alih digunakan untuk mengusulkan status bencana nasional, Gubernur Aceh Muzakir Manaf justru menuding para bupati “cengeng” dan tak mampu bekerja.
Drama kian melebar ketika Bupati Aceh Selatan Mirwan MS, yang ikut menandatangani surat ketidaksanggupan itu, viral karena berangkat umrah tanpa izin gubernur. Pemerintah Aceh baru menyampaikan penolakan izinnya ketika sang bupati sudah dalam perjalanan menuju Makkah. Kejadian itu langsung menjadi konsumsi politik nasional bahkan Ketua Komisi II DPR dari Nasdem mengecam keras, Mendagri turun tangan, Gerindra memecat Mirwan dari jabatan partai, Presiden Prabowo menyindir keras, hingga akhirnya status nonaktif dijatuhkan kepada Mirwan MS.
Belum reda, muncul pula episode “93 persen listrik menyala”. Di hadapan Presiden, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengklaim pemulihan listrik Aceh telah mencapai 93 persen. Warga Aceh yang malam itu gelap gulita membalas klaim tersebut dengan banjir kritik. Beberapa hari kemudian Bahlil meminta maaf, sementara Dirut PLN mengklarifikasi bahwa sistem kelistrikan Aceh sedang gagal sinkronisasi dan diperkirakan baru pulih 14 Desember.
Rangkaian drama itu menyita energi publik. Namun justru celah inilah yang paling mengkhawatirkan. Serangkaian kegaduhan seakan menenggelamkan isu pokok yang semestinya menjadi fokus negara, kenapa penanganan begitu lambat, apa akar penyebab banjir sebesar ini, dan mengapa pemerintah pusat begitu menolak menetapkannya sebagai bencana nasional? Dalam lanskap politik dan ekonomi yang rumit, persoalannya tampak lebih dari sekadar “harga diri bangsa”.
*Di Balik Penolakan Bencana Nasional: Ekologi yang Terkoyak*
Secara objektif, hampir seluruh indikator bencana nasional terpenuhi. Walhi Aceh menegaskan sedikitnya lima variabel utama yaitu korban besar, pengungsian masif, kerusakan infrastruktur, wilayah terdampak luas, dan pemerintah daerah kewalahan. Data BNPB membenarkan kondisi itu. Per 8 Desember 2025, korban meninggal mencapai 974 orang, 298 hilang, dan puluhan ribu mengungsi. Angka-angka itu terus bergerak naik.
Pantauan bencana hidrometeorologi menunjukkan skala kerusakan yang meluas yaitu 18 kabupaten/kota terdampak, 224 kecamatan, lebih dari 1.600 gampong, dan setidaknya 526 ribu jiwa terkena dampak pada akhir November. Hanya dalam beberapa hari, angka itu melonjak dua kali lipat. Per 2 Desember, lebih dari 1,4 juta jiwa terdampak dan lebih dari 650 ribu warga mengungsi di 828 titik. Semua indikator ini adalah sinyal kuat kebutuhan status bencana nasional, namun pemerintah pusat memilih menahannya.
Di permukaan tampak persoalan “harga diri” negara, penetapan bencana nasional membuka peluang masuknya bantuan asing dalam skala besar. Namun kedalamannya lebih rumit. Ada kekhawatiran geopolitik, terutama karena Aceh adalah wilayah pascak konflik dengan dinamika politik yang tak pernah benar-benar padam. Gerakan ASNLF di luar negeri kembali aktif di forum internasional, dan pernyataan mereka pada 4 Desember di hadapan UNPO turut menyinggung bencana Aceh. Pembukaan akses asing dalam konteks ini dapat mengundang sensitifitas politik.
Namun pertimbangan paling signifikan justru berada pada sisi ekologis. Penetapan bencana nasional berpotensi membuka ruang investigasi luas, baik nasional maupun internasional yang dapat menyeret banyak kepentingan ekonomi besar di Aceh berupa korporasi tambang, pemegang HGU sawit, pemilik konsesi hutan, hingga perusahaan-perusahaan yang sudah lama disebut-sebut merusak tutupan hutan di wilayah DAS kritis. Ketika data ilmiah mulai disorot, narasi “bencana alam” akan runtuh menjadi “bencana ekologis”.
Kerusakan sungai dan hutan Aceh berlangsung sistematis selama bertahun-tahun. Walhi mencatat ada 954 DAS di Aceh, dan 20 di antaranya dalam kondisi kritis. Kerusakan parah terjadi di DAS Krueng Trumon yang kehilangan 43 persen tutupan hutan sejak 2016. DAS Singkil lebih tragis: dalam sepuluh tahun, 820 ribu hektar hutan hilang, setara dua kali luas Jakarta. Kerusakan signifikan juga menimpa DAS Jambo Aye, Peusangan, Krueng Tripa, hingga Tamiang dengan tingkat degradasi tutupan hutan antara 36 sampai lebih dari 75 persen.
Di hulu, industri ekstraktif berdiri dalam skema konsesi yang saling tumpang tindih. Dinas ESDM Aceh mencatat 64 perusahaan memegang IUP. Ada pula 487 ribu hektar HGU untuk perkebunan sawit. Di sektor kehutanan, konsesi PT Tusam Hutani Lestari di Aceh Tengah, Bener Meriah, Bireuen, dan Aceh Utara mencakup 97 ribu hektar.
JATAM menemukan tumpang tindih konsesi PT Tusam dengan PT Linge Mineral Resources, bagian dari Grup Bumi Resources Minerals (BRMS). Struktur kepemilikan BRMS memperlihatkan benang kusut bisnis tambang yang bersentuhan dengan jaringan modal asing dari Cayman Island hingga British Virgin Islands.
Di saat yang sama, terdapat perusahaan-perusahaan lain yang memiliki hubungan dengan elite nasional, termasuk perusahaan milik figur politik besar di Jakarta. Konsesi PT Linge, misalnya, merupakan izin eksplorasi mineral logam seluas 36.420 hektar yang diperpanjang hingga 2026. Di kawasan Aceh Barat dan Nagan Raya, enam perusahaan batubara menguasai lebih dari 18 ribu hektar
Sebagian di antaranya terkait dengan Media Group dan jejaring bisnis Surya Paloh melalui PT Bara Energi Lestari serta PT Media Djaya Bersama yang menguasai jalur pengangkutan batubara. Dinamika itu menunjukkan industri tambang dan perkebunan bukan sekadar faktor ekonomi lokal, tetapi bagian dari lanskap kekuasaan nasional.
Jika investigasi resmi berskala nasional dilakukan, maka seluruh rantai konsesi, izin, dan praktik korporasi dapat tersorot.
Keterlibatan perusahaan-perusahaan besar sebagian terhubung dengan elit politik dan bisnis negara, bukan lagi isu pinggiran, tetapi jantung masalah. Inilah konteks yang membuat penetapan bencana nasional menjadi persoalan politis, bukan administratif.
Banjir Aceh bukan semata akibat curah hujan ekstrem. Ini adalah kulminasi dari pengabaian panjang terhadap daya dukung lingkungan. Ketika gunung gundul, sungai dangkal, kanal tambang terbuka, dan hutan gambut rusak, sedikit saja anomali cuaca cukup untuk mengubahnya menjadi malapetaka. Sayangnya, narasi resmi lebih nyaman menyalahkan “cuaca ekstrem” ketimbang menelusuri jejak perusakan ekologis yang berlangsung bertahun-tahun.
Pertanyaan besar kini menggantung, apakah Satgas Penataan Kawasan Hutan (PKH) berani menyentuh perusahaan-perusahaan pemegang HPH, HGU, dan IUP yang diduga berkontribusi pada kerusakan DAS? Ataukah investigasi bencana ini kembali akan berakhir sebagai laporan normatif yang menghindari aktor-aktor besar?
Aceh sedang mengajarkan sesuatu kepada republik, bahwa bencana ekologis tak pernah muncul tiba-tiba. Ia adalah hasil dari kebijakan yang membiarkan deforestasi massif, perburuan rente sumber daya, tumpang tindih izin, serta minimnya pengawasan. Namun yang lebih mengerikan dari bencana itu sendiri adalah ketika negara tampak lebih sibuk mengatur alur dramanya daripada menghadapi akar masalah yang merobek Aceh secara perlahan tapi pasti. (rls/mi).
Penulis : Mahmud Padang (Pemerhati Sosial Politik Aceh, Ketua DPW Alamp Aksi Aceh)
إرسال تعليق