![]() |
| Dr.Iswadi |
Jakarta, newsataloen.com - Wacana pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat dan memantik perdebatan publik. Akademisi Dr. Iswadi menilai, sudah saatnya Presiden bersama DPR mempertimbangkan secara serius penetapan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD sebagai solusi atas berbagai persoalan mendasar dalam sistem pilkada langsung yang selama ini berjalan.
Dr. Iswadi, Senin (29/12) di Jakarta,Pilkada langsung memang lahir dari semangat demokrasi pascareformasi, namun dalam praktiknya justru menimbulkan biaya politik yang sangat tinggi, baik bagi negara maupun bagi para calon kepala daerah. Biaya tersebut, kata dia, sering kali tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat.
Pilkada langsung memakan anggaran negara dalam jumlah sangat besar. Triliunan rupiah habis setiap kali pesta demokrasi digelar, sebagian besar untuk keperluan administratif, logistik, spanduk, baliho, hingga panggung kampanye, ujar Dr. Iswadi kepada media, baru baru ini.Selain beban anggaran negara, ia juga menyoroti biaya personal yang harus dikeluarkan calon kepala daerah. Modal kampanye yang sangat besar kerap menjadi masalah serius. Tidak jarang, seorang calon harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang jauh melampaui kemampuan finansial normalnya.
Kalau kita hitung secara logis, gaji resmi seorang kepala daerah selama satu periode jelas tidak akan cukup untuk menutup biaya kampanye yang dikeluarkan di awal. Ini menciptakan tekanan besar bagi pejabat terpilih untuk ‘balik modal’ secepat mungkin,jelasnya.
Tekanan itulah, menurut Dr. Iswadi, yang kemudian menjadi salah satu akar persoalan maraknya praktik korupsi di daerah. Ongkos politik yang terlalu tinggi mendorong kepala daerah terjerumus dalam penyalahgunaan wewenang, suap, dan pengaturan proyek demi menutup utang politik yang menumpuk.
Tidak mengherankan jika kita sering melihat kepala daerah akhirnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rompi oranye seakan jadi pemandangan rutin. Sistem yang mahal ini secara tidak langsung memaksa mereka bermain kotor, katanya.
Selain aspek ekonomi dan korupsi, Dr. Iswadi juga menyoroti dampak sosial dari pilkada langsung. Konflik horizontal antarpendukung sering kali tak terhindarkan. Perselisihan akibat perbedaan pilihan politik bisa merusak hubungan keluarga, pertemanan, bahkan bertetangga.
Di banyak daerah, pilkada meninggalkan luka sosial. Permusuhan berkepanjangan antarwarga hanya karena beda pilihan. Ini seharusnya menjadi bahan evaluasi serius, ujarnya.
Ia menilai, pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat menekan potensi konflik tersebut. Proses politik berlangsung di ruang perwakilan, bukan di jalanan atau di tengah masyarakat luas, sehingga gesekan sosial dapat diminimalisasi.
Dr. Iswadi menegaskan, wacana pilkada lewat DPRD tidak seharusnya ditolak hanya karena sentimen emosional atau stigma kemunduran demokrasi. Menurutnya, demokrasi tidak hanya soal pemilihan langsung, tetapi juga tentang efektivitas pemerintahan, akuntabilitas, dan kesejahteraan rakyat.
Kalau jalurnya diubah, anggaran yang selama ini bocor untuk seremonial politik bisa dihemat besar-besaran. Dana itu bisa dialihkan langsung ke sektor yang benar-benar dirasakan rakyat, seperti perbaikan jalan, layanan kesehatan, pendidikan, atau subsidi pupuk bagi petani, kata dia.
Ia juga mengingatkan bahwa sistem pemilihan melalui perwakilan bukanlah hal yang asing dalam demokrasi modern. Sejumlah negara demokrasi besar seperti Inggris dan Australia menerapkan mekanisme serupa, di mana kepala pemerintahan dipilih melalui lembaga legislatif. Meski demikian, stabilitas pemerintahan tetap terjaga dan demokrasi tetap berjalan.
Demokrasi tidak runtuh hanya karena pemilihan dilakukan lewat perwakilan. Yang penting adalah transparansi, pengawasan, dan akuntabilitas. Negara tetap bisa demokratis tanpa harus menguras dompet negara setiap lima tahun, tegas Dr. Iswadi.(rel)

إرسال تعليق