![]() |
| Dr.Iswadi |
Jakarta, newsataloen.com - Ketidakadilan bukan hanya lahir dari kekuasaan yang sewenang-wenang, tetapi juga dari pengetahuan yang dibungkam. Dalam masyarakat modern, kebodohan sering kali tidak muncul karena kurangnya sekolah, tetapi karena sistem pendidikan yang tidak memberi ruang bagi manusia untuk berpikir dan bertanya.
Di sinilah gagasan pendidikan pembebasan yang diperjuangkan oleh Dr. Iswadi menemukan relevansinya. Ia percaya bahwa pengetahuan sejati adalah senjata paling ampuh untuk melawan ketidakadilan dalam segala bentuknya baik sosial, ekonomi, maupun budaya.
Bagi Dr. Iswadi, pendidikan bukan sekadar proses mengajar dan belajar, tetapi tindakan pembebasan manusia dari ketidaksadaran dan penindasan struktural. Ia menolak pandangan bahwa siswa hanyalah wadah kosong yang harus diisi pengetahuan oleh guru. Pandangan itu, menurutnya, menjadikan pendidikan sebagai alat kekuasaan, bukan alat kemanusiaan. Dalam kerangka pendidikan pembebasan, guru dan siswa adalah dua subjek yang sama-sama belajar, sama sama mencari makna. Dialog menjadi kunci, karena hanya melalui dialoglah manusia menemukan kesadaran akan dirinya dan dunia di sekitarnya.
Gagasan ini berakar pada keyakinan bahwa pengetahuan harus membawa manusia pada kesadaran kritis kesadaran untuk memahami realitas sosial secara jernih dan berani menantangnya. Dr. Iswadi menegaskan bahwa pendidikan tidak boleh berhenti pada hafalan atau nilai ujian.
Ia harus menumbuhkan keberanian untuk bertanya, kemampuan untuk berpikir mandiri, dan komitmen untuk memperjuangkan keadilan. Ketika pendidikan gagal menumbuhkan kesadaran kritis, ia justru menjadi bagian dari mekanisme penindasan yang halus dan sistematis.
Dalam konteks Indonesia, gagasan Dr. Iswadi terasa sangat relevan. Di tengah kesenjangan sosial yang lebar, pendidikan sering kali menjadi cermin ketimpangan. Sekolah yang baik hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu, sementara anak anak dari keluarga miskin harus puas dengan fasilitas seadanya.
Kurikulum pun sering kali menanamkan kepatuhan, bukan pemikiran kritis. Dr. Iswadi melihat kondisi ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang harus dilawan melalui reformasi paradigma pendidikan dari pendidikan yang menindas menjadi pendidikan yang membebaskan.
Melalui pendekatannya, Dr. Iswadi mengajak masyarakat untuk melihat pengetahuan sebagai alat perubahan sosial. Ia meyakini bahwa mendidik berarti mengubah , bukan sekadar mengajar. Setiap proses belajar harus mengarah pada kesadaran bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kondisi sosialnya. Pendidikan, dengan demikian, menjadi bentuk perlawanan terhadap kemiskinan, kebodohan, dan segala bentuk ketidakadilan.
Di tengah dunia yang semakin pragmatis, di mana pendidikan sering diukur dengan gelar dan pekerjaan, Dr. Iswadi mengingatkan bahwa hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pengetahuan tidak boleh terjebak dalam rutinitas administratif atau tujuan ekonomi semata.
Ia harus menjadi jalan menuju kebebasan berpikir dan keberanian bertindak. Dengan pengetahuan yang membebaskan, manusia tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga sadar sadar akan haknya, tanggung jawabnya, dan perannya dalam memperjuangkan keadilan.
Gagasan Dr. Iswadi menegaskan bahwa melawan ketidakadilan tidak selalu memerlukan kekuatan fisik, melainkan keberanian intelektual Pendidikan pembebasan adalah bentuk perjuangan sunyi namun mendalam, yang mengubah cara manusia berpikir sebelum mengubah dunia. Dalam pengetahuan yang membebaskan, terkandung kekuatan untuk menumbangkan penindasan dan menegakkan kemanusiaan. Itulah warisan pemikiran Dr. Iswadi yang tetap hidup dan relevan hingga hari ini. (red/rizal jibro).

إرسال تعليق