![]() |
| Dr.Iswadi |
Jakarta , newsataloen.com - Menjadi dosen bukan sekadar menjalankan profesi, melainkan juga menjalankan amanah untuk membimbing, mengarahkan, dan membantu mahasiswa menemukan potensi terbaik mereka. Dalam peran ini, seorang dosen tidak hanya menjadi penyampai materi, tetapi juga pembuka jalan, penuntun nilai, serta teladan dalam sikap dan karakter.
Namun, terdapat satu dimensi lain yang sering kali terlupakan, yaitu bagaimana menjadi dosen yang dirindukan mahasiswa dosen yang kehadirannya dinantikan, nasihatnya dicari, dan pelajarannya dikenang jauh setelah mahasiswa lulus kelak.
Setiap awal semester, saya selalu kembali merenungkan perjalanan panjang dalam dunia pendidikan tinggi. Ada pertemuan pertemuan yang menyisakan kesan mendalam, ada pula sesi kelas yang terasa hambar. Dari semua pengalaman tersebut saya menyadari bahwa kerinduan mahasiswa terhadap dosennya bukan lahir dari seberapa tinggi gelar yang disandang, seberapa banyak karya ilmiah yang ditulis, atau seberapa keras dosen menegakkan kedisiplinan. Kerinduan itu muncul dari keterhubungan connection yang terbangun antara dosen dan mahasiswa dalam proses belajar.
Keterhubungan itu mulai tumbuh sejak seorang dosen mampu menempatkan dirinya sebagai manusia yang juga sedang belajar. Saya selalu mengatakan kepada mahasiswa bahwa saya berada di kelas bukan sebagai yang paling tahu, tetapi sebagai orang yang lebih dulu menapaki jalan yang akan mereka lalui. Dari sana, suasana belajar menjadi lebih egaliter. Mahasiswa tidak lagi melihat saya sebagai figur yang menakutkan, tetapi sebagai mitra akademik yang dapat dipercaya.
Menjadi dosen yang dirindukan mahasiswa berarti hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional dan intelektual. Mahasiswa merasakan kehadiran itu ketika dosennya menunjukkan empati: memahami tantangan mereka, mendengarkan keluhan mereka, dan merayakan pencapaian kecil mereka.
Di dalam kelas, empati bisa terwujud dari hal sesederhana mengingat nama mahasiswa, memberi ruang bagi mereka untuk mengemukakan pendapat, atau mendukung mereka yang sedang menghadapi kesulitan akademik maupun personal. Hal kecil seperti itu sering kali memiliki dampak besar yang tidak kita sadari.
Saya teringat satu mahasiswa yang suatu hari datang ke ruang kelas dengan wajah lesu. Ia berkata bahwa ia sedang berada pada titik jenuh dan mempertimbangkan untuk berhenti kuliah. Kami berbicara cukup lama. Saya mendengarkan lebih banyak daripada memberi nasihat. Setelah percakapan itu, ia kembali bersemangat dan kini telah bekerja di salah satu perusahaan ternama. Beberapa tahun setelah lulus.
Ia mengirimkan pesan terima kasih, mengatakan bahwa momen percakapan singkat itu mengubah arah hidupnya. Saat membaca pesan itu, saya kembali disadarkan bahwa tugas dosen tidak berhenti pada penyampaian teori, tetapi juga pada kemampuan memahami manusia di balik peran mahasiswa.
Selain empati, mahasiswa merindukan dosennya ketika dosen tersebut menghadirkan pembelajaran yang bermakna. Di era digital seperti sekarang, mahasiswa dapat menemukan teori apa pun di internet hanya dengan sekali klik. Maka tugas kita bukan lagi memenuhi kelas dengan tumpukan slide, tetapi menghidupkan teori teori itu melalui contoh nyata, diskusi kritis, studi kasus, proyek kolaboratif, dan pengalaman yang relevan. Mahasiswa ingin belajar sesuatu yang membuat mereka merasa lebih siap menghadapi dunia nyata. Mereka merindukan dosen yang mampu memberi mereka insight, bukan sekadar informasi.
Bagi saya, salah satu kunci penting dalam menghadirkan pembelajaran bermakna adalah membangun kelas yang dialogis. Saya selalu mendorong mahasiswa untuk bertanya, menyanggah, atau bahkan tidak setuju dengan saya tentu dengan cara yang santun dan argumentatif.
Ketika kelas menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, mahasiswa tidak lagi hadir karena takut atau terpaksa, tetapi karena mereka merasa dihargai. Saat itulah proses belajar menjadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus mendalam. (red)
Penulis: Dr. Iswadi, M.Pd, Dosen Universitas Esa Unggul Jakarta

إرسال تعليق