/> Kasus Luwu Menggema, Dr. Iswadi Tekankan Urgensi Keppres Hak Imunitas Guru

Kasus Luwu Menggema, Dr. Iswadi Tekankan Urgensi Keppres Hak Imunitas Guru

 

Dr.Iswadi


Jakarta, newsataloen.com - Kasus dua guru di Luwu yang akhirnya direhabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto kembali menggema di ruang publik dan memicu diskusi luas tentang perlindungan hukum bagi pendidik. Keputusan rehabilitasi tersebut membawa kelegaan, namun sekaligus membuka kembali luka lama tentang betapa rentannya posisi guru ketika menjalankan tugas pembinaan dan pendisiplinan siswa

Di tengah derasnya perhatian publik itu, Dr. Iswadi, Minggu (16/11) di Jakarta,tokoh pendidikan yang konsisten memperjuangkan perlindungan guru kembali menekankan urgensi penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Hak Imunitas Guru.

Menurut Dr. Iswadi, kasus Luwu bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Ia mencerminkan masalah struktural yang telah berulang bertahun-tahun: guru yang menjalankan tindakan disiplin sering kali dipersepsikan sebagai pelaku kekerasan, bukan pendidik yang menjalankan tugas profesionalnya.

Padahal, pembinaan karakter termasuk ketegasan merupakan bagian esensial dalam dunia pendidikan. Namun, tanpa adanya payung hukum yang jelas, guru dapat sewaktu waktu terseret dalam proses hukum, meski konteks tindakannya bersifat pedagogis.

Rehabilitasi yang dilakukan Presiden Prabowo, bagi Dr. Iswadi, merupakan sinyal penting bahwa negara mengakui perlunya perlindungan lebih kuat bagi guru. Namun, ia menegaskan bahwa langkah itu tidak boleh berhenti pada penyelesaian kasus per kasus. Diperlukan kebijakan nasional yang memberikan kepastian hukum, dan Keppres Hak Imunitas Guru dipandang sebagai instrumen paling mendesak untuk menjawab kebutuhan tersebut.

Dalam berbagai kesempatan, Dr. Iswadi menjelaskan bahwa imunitas yang ia dorong bukanlah bentuk kebal hukum mutlak. Ia menolak anggapan bahwa usulannya dapat memberi ruang penyalahgunaan kekuasaan oleh guru. Sebaliknya, imunitas yang dimaksud adalah perlindungan terhadap tindakan profesional yang dilakukan sesuai kode etik, kurikulum, dan standar operasional pendidikan.

Jika guru melakukan tindakan di luar batas profesional, tentu tetap harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, ia menegaskan prinsip yang selalu ia ulang: Imunitas bukan impunitas.

Bagi Dr. Iswadi, urgensi Keppres ini bukan hanya soal melindungi guru, tetapi juga melindungi masa depan pendidikan Indonesia. Tanpa rasa aman, guru akan cenderung menghindari tindakan pembinaan yang dianggap berisiko. Akibatnya, disiplin siswa melemah, proses belajar terganggu, dan fungsi sekolah sebagai lembaga pembentuk karakter tidak berjalan optimal. Ia menyebut situasi ini sebagai krisis wibawa guru yang jika tidak segera diatasi dapat berdampak panjang terhadap kualitas generasi mendatang.

Resonansi dari kasus Luwu membuat berbagai organisasi profesi guru dan pemerhati pendidikan kembali menyuarakan dukungan bagi perlindungan hukum. Mereka menilai bahwa pemerintah perlu bergerak cepat untuk mencegah kasus serupa terulang. Beberapa akademisi bahkan menegaskan bahwa regulasi seperti Keppres akan membantu menyamakan pemahaman antara masyarakat, aparat hukum, dan lembaga pendidikan tentang ruang lingkup kewenangan guru.

Dengan menguatnya perhatian publik, Dr. Iswadi berharap pemerintah segera membuka ruang diskusi formal dan menyusun langkah konkret menuju penerbitan Keppres Hak Imunitas Guru.

Ia menegaskan bahwa perlindungan terhadap guru bukan sekadar kebutuhan profesi, tetapi fondasi untuk mewujudkan pendidikan yang sehat, berwibawa, dan berorientasi pada pembentukan karakter bangsa. Kasus Luwu menjadi pengingat bahwa kebijakan perlindungan guru kini bukan lagi opsi, melainkan keharusan.(red/rj).

Post a Comment

أحدث أقدم