![]() |
| Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Setiap tanggal 25 November, bangsa ini kembali mengucapkan selamat kepada para guru pahlawan tanpa tanda jasa yang selalu disebut dalam pidato, tapi sering kali dilupakan dalam kebijakan. Hari Guru seharusnya bukan sekadar seremoni penuh bunga, potret, dan pujian. Ia mestinya menjadi ruang refleksi: sudah sejauh mana bangsa ini menempatkan guru sebagai inti dari perubahan?
Dr. Iswadi, M.Pd., pendiri organisasi Pejuang Pendidikan Indonesia, menulis catatan kritis di Hari Guru 2025 ini dengan nada tegas namun penuh cinta. Baginya, guru bukan sekadar pengajar yang memindahkan pengetahuan dari buku ke kepala murid. Guru adalah penggerak nurani bangsa, penuntun arah moral, dan penjaga api peradaban. Namun, di tengah perubahan zaman yang kian cepat, peran luhur itu perlahan dikikis oleh sistem yang kering dari nilai kemanusiaan.
“Banyak guru kini dipaksa menjadi pelaksana kurikulum, bukan penggerak perubahan. Mereka lebih sering dibebani administrasi daripada diberi ruang untuk berinovasi,” tulis Dr. Iswadi dalam catatannya.
Ia menyebutkan, beban kerja guru hari ini semakin berat, tetapi penghargaan terhadap martabat mereka justru kian ringan. Guru harus berhadapan dengan tumpukan laporan, aplikasi digital yang menuntut, serta tekanan dari berbagai pihak yang menilai kualitas hanya lewat angka.
Kritik Dr. Iswadi bukan sekadar keluhan, tetapi seruan untuk kembali pada jantung pendidikan: kemanusiaan. Pendidikan, menurutnya, tidak bisa dibangun dengan sistem yang memperlakukan guru layaknya mesin produksi. “Guru bukan robot kurikulum,” tegasnya. Mereka adalah manusia yang memerlukan dukungan, pelatihan yang bermakna, dan penghormatan terhadap profesinya sebagai pendidik sejati.
Dalam refleksinya, Dr. Iswadi juga menyoroti paradoks yang terjadi di dunia pendidikan kita. Di satu sisi, negara gencar berbicara tentang Merdeka Belajar, tetapi di sisi lain, banyak guru belum merasakan kemerdekaan sejati dalam mengajar. Mereka masih terikat pada instruksi yang kaku, pada sistem penilaian yang tidak adil, bahkan pada kontrak kerja yang tak pasti. Ribuan guru honorer masih menanti kepastian status, sementara dedikasi mereka telah melampaui batas waktu dan tenaga.
Dr. Iswadi menegaskan bahwa memperbaiki pendidikan Indonesia tidak bisa dimulai dari kurikulum, tetapi dari memuliakan guru. “Jika guru sejahtera lahir batin, maka murid akan belajar dengan bahagia. Dan ketika murid bahagia, pendidikan akan bermakna, ujarnya
Ia mengajak seluruh pihak pemerintah, masyarakat, dan institusi pendidikan untuk berhenti memperlakukan guru sebagai pelaksana kebijakan semata. Guru harus dilibatkan dalam merancang kebijakan pendidikan, karena merekalah yang paling memahami realitas ruang kelas.
“Jangan jadikan guru sekadar pelengkap data statistik pendidikan nasional. Jadikan mereka suara utama dalam menata masa depan bangsa,” tulisnya tegas.
Namun di balik kritiknya yang tajam, Dr. Iswadi juga menyampaikan apresiasi mendalam kepada para guru yang tetap bertahan dengan segala keterbatasan. Ia menuliskan kisah tentang guru guru di pelosok negeri yang berjalan berjam-jam melewati jalan tanah, hanya untuk memastikan satu kelas kecil tidak kosong hari itu. Tentang guru muda yang mengajar tanpa gaji tetap, tetapi tetap tersenyum karena cintanya pada anak anak. Tentang guru yang tak punya papan tulis layak, namun mampu menyalakan cahaya pengetahuan dengan kata katanya.
“Guru sejati tidak pernah menyerah, meski sering diperlakukan tidak adil,"tulisnya penuh haru. Bagi Dr. Iswadi, semangat seperti itu harus dijaga tetapi juga harus diperjuangkan agar tidak terus dieksploitasi oleh sistem yang abai.
Menutup catatannya, Dr. Iswadi mengingatkan bahwa Hari Guru bukan untuk sekadar memberi bunga, tetapi untuk menanamkan kesadaran baru: bahwa bangsa tanpa penghormatan kepada gurunya adalah bangsa yang kehilangan arah. (rel/rj)

Post a Comment