![]() |
| Dr.Iswadi |
Jakarta, newsataloen.com - Polemik impor 250 ton beras ke Kawasan Sabang terus memantik perdebatan di tingkat nasional. Di tengah riuhnya saling bantah antarpejabat, muncul suara tegas dari seorang akademisi dan pendidik asal Aceh yang selama ini dikenal aktif dalam isu pendidikan karakter, keadilan sosial, dan pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Ia adalah Dr. Iswadi, M.Pd., pendiri organisasi Pejuang Pendidikan Indonesia (PPI)
Sikapnya lugas dan tanpa basa basi. Dr. Iswadi meminta Menteri Pertanian (Mentan) untuk menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat Sabang dan Aceh atas pernyataan yang menurutnya tergesa-gesa dan tidak akurat terkait status impor beras tersebut.
Menurut Dr. Iswadi, pernyataan Mentan yang menyebut impor 250 ton beras itu sebagai ilegal telah menimbulkan kegaduhan besar, bukan hanya di Sabang, tetapi juga di seluruh Aceh. “Kata ‘ilegal’ itu berat, ujarnya kepada wartawan melalui pesan WhatsApp, Senin 24 November 2025. Ia menilai, sebelum menyampaikan tuduhan seperti itu ke media, seharusnya Mentan terlebih dahulu melakukan verifikasi menyeluruh mengenai status hukum Kawasan Perdagangan Bebas Sabang (KPBPB), yang sejak awal memiliki kekhususan dalam sistem kepabeanan dan perdagangan nasional.
Dalam pandangan Dr. Iswadi, kegaduhan ini tidak seharusnya terjadi apabila kementerian memahami dengan utuh dasar hukum yang melandasi operasional kawasan Sabang. Mulai dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 hingga berbagai peraturan turunan, semuanya menegaskan bahwa barang yang masuk ke Sabang tidak diperlakukan sebagai barang impor ke wilayah pabean Indonesia. Karena itu, menurutnya, pernyataan Mentan telah menciptakan persepsi keliru dan menimbulkan kesan seolah olah masyarakat serta pemerintah daerah Sabang terlibat dalam aktivitas penyelundupan.
Dr. Iswadi mencontohkan bahwa dalam isu sensitif seperti pangan, persepsi publik sangat mudah bergeser akibat pernyataan pejabat. Begitu pejabat pusat menyebut ‘ilegal’, masyarakat langsung membayangkan adanya kejahatan besar, katanya. Padahal konteks hukum di Sabang sangat berbeda. Perbedaan inilah yang semestinya dipahami sebelum membuat pernyataan yang mengguncang kepercayaan publik.
Ia menegaskan bahwa sikapnya bukan untuk membela BPKS ataupun pihak yang mengimpor beras tersebut. Fokusnya adalah memastikan bahwa pemerintah pusat benar benar memahami kerangka hukum daerah istimewa seperti Aceh. Menurutnya, ucapan Mentan justru menciptakan stigma buruk terhadap Sabang sebagai kawasan bebas, seolah menjadi pintu masuk barang ilegal padahal aktivitas ekonomi di sana berlandaskan regulasi yang kuat dan telah berlangsung bertahun tahun.
Selain memicu kegaduhan, Dr. Iswadi menilai pernyataan Mentan juga berpotensi merusak citra Sabang di mata dunia usaha. Investor yang hendak menanamkan modal bisa merasa ragu atau takut karena khawatir aktivitas mereka dianggap ilegal meski berada dalam koridor hukum kawasan bebas. Kata kata pejabat pusat itu punya dampak ekonomi,” tegasnya. “Ini bukan sekadar soal beras, tetapi soal kepercayaan yang dibangun bertahun tahun.
Karena itu, menurut Dr. Iswadi, Mentan seharusnya mengakui kekeliruannya dan meminta maaf secara terbuka. Bukan sebagai tanda kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab moral dan etika seorang pejabat publik. Ia meyakini bahwa permintaan maaf akan menunjukkan kedewasaan pemerintah dalam menyikapi polemik, sekaligus memperkuat hubungan pusat daerah
Ia menegaskan bahwa permintaan maaf bukan untuk mempermalukan siapa pun, tetapi demi mengembalikan kepercayaan masyarakat Sabang, Aceh, dan Indonesia terhadap proses pemerintahan yang adil dan proporsional. Jika kesalahan komunikasi sudah terjadi, langkah terbaik adalah memperbaikinya, ujarnya.
Lebih jauh, Dr. Iswadi mengingatkan bahwa Aceh memiliki otonomi khusus, termasuk dalam pengelolaan kawasan Sabang. Karena itu, hubungan pemerintah pusat dengan daerah harus dijaga dengan penuh saling penghormatan.(rel)

إرسال تعليق