/> Dr.Iswadi Ungkap Reformasi Telah Kehilangan Arah, Saatnya Kembali ke UUD 1945 yang Asli

Dr.Iswadi Ungkap Reformasi Telah Kehilangan Arah, Saatnya Kembali ke UUD 1945 yang Asli

 

Dr.Iswadi,M.Pd

Jakarta, newsataloen.com - Reformasi 1998 lahir dari semangat perubahan yang besar: membebaskan bangsa Indonesia dari cengkeraman rezim otoriter, membuka ruang demokrasi, menegakkan keadilan, serta membangun pemerintahan yang bersih dan transparan. Namun, dua dekade lebih sejak tumbangnya Orde Baru, muncul pertanyaan krusial: apakah reformasi benar-benar membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik?

Dr. Iswadi, seorang tokoh intelektual nasionalis, dengan tegas menyatakan bahwa reformasi telah kehilangan arah Menurutnya, perubahan-perubahan yang terjadi setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 justru menjauhkan bangsa dari jati dirinya. “Banyak hal yang sekarang justru bertentangan dengan semangat pendiri bangsa,

Amandemen UUD 1945 dilakukan empat kali dalam kurun waktu 1999–2002, dengan dalih untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan. Namun menurut Dr. Iswadi, amandemen tersebut justru merombak struktur fundamental konstitusi yang asli. Sistem presidensial berubah wajah menjadi semi-parlementer terselubung. Kewenangan MPR dikebiri, peran partai politik menjadi semakin dominan, dan kekuatan modal serta oligarki masuk ke ruang-ruang kebijakan publik tanpa pengawasan yang cukup.

“Demokrasi kita kini bukanlah demokrasi yang berakar dari nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal,” ujar Dr. Iswadi. Ia melihat bahwa demokrasi yang diterapkan setelah reformasi lebih banyak mengadopsi model liberal barat yang tidak sepenuhnya cocok dengan karakter bangsa Indonesia. Demokrasi yang terlalu prosedural telah melahirkan pemimpin pemimpin yang dipilih bukan karena kapasitas dan integritas, melainkan karena kekuatan uang dan popularitas.

Kondisi ini, menurutnya, berakar dari pergeseran konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi negara. UUD 1945 yang asli mengandung filosofi dan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Ia menyatukan prinsip musyawarah, kedaulatan rakyat, serta peran negara yang kuat namun tetap berpihak pada rakyat. Namun setelah amandemen, arah pembangunan lebih dikendalikan oleh pasar dan mekanisme neoliberal.

Lebih lanjut, Dr. Iswadi menilai bahwa hilangnya lembaga tertinggi negara, yakni MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat, adalah kesalahan besar. “Dulu, MPR adalah wadah di mana seluruh elemen bangsa bisa bersuara melalui utusan golongan dan daerah. Sekarang, representasi itu hilang. Semua dikendalikan oleh partai politik,” katanya. Akibatnya, banyak kebijakan strategis yang seharusnya dirumuskan secara musyawarah justru diputuskan oleh elite-elite politik yang memiliki kepentingan sempit.

Dalam pandangannya, Indonesia saat ini sangat membutuhkan evaluasi menyeluruh terhadap perjalanan reformasi. Ia tidak menolak perubahan atau modernisasi, namun menekankan bahwa perubahan harus tetap berpijak pada jati diri bangsa. Karena itulah, Dr. Iswadi menyerukan pentingnya kembali ke UUD 1945 yang asli sebagai dasar negara yang paling sesuai dengan semangat proklamasi dan Pancasila.

Kembali ke UUD 1945 versi asli bukan berarti menolak demokrasi, melainkan memurnikan kembali sistem demokrasi Indonesia agar sejalan dengan cita-cita pendiri bangsa. Demokrasi Pancasila, dalam pandangan Iswadi, adalah demokrasi yang menekankan musyawarah, gotong royong, dan keadilan sosial. Bukan demokrasi yang transaksional dan elitis seperti yang banyak terjadi hari ini.

Meski wacana kembali ke UUD 1945 sering dipersepsikan negatif, bahkan dituduh sebagai upaya memundurkan demokrasi, Dr. Iswadi menegaskan bahwa langkah tersebut justru merupakan upaya menyelamatkan bangsa. 

“Kita tidak bisa terus membiarkan bangsa ini tersandera oleh kepentingan politik jangka pendek. Kita perlu kembali kepada pondasi asli yang kuat, yang sudah terbukti mempersatukan bangsa dalam masa-masa sulit,” tegasnya.(rel/rizal jibro).

Post a Comment

أحدث أقدم