![]() |
| Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Pada Selasa, 15 Juli 2025, Di balik slogan Pendidikan untuk semua kenyataan di Indonesia menunjukkan hal yang kontras. Pendidikan, yang seharusnya menjadi alat pemerdekaan dan mobilitas sosial, kini justru memperkuat ketimpangan sosial.
Inilah kritik utama yang disampaikan oleh Dr. Iswadi dalam pemikirannya yang menggugah Dari Kelas ke Kasta. Secara ideal, pendidikan berfungsi sebagai tangga sosial alat untuk setiap individu, tanpa memandang latar belakang, meraih kehidupan yang lebih baik.
Namun menurut Dr. Iswadi, fungsi ini telah mengalami distorsi. Pendidikan di Indonesia kini lebih menyerupai sistem kasta yang kaku dan eksklusif, di mana posisi sosial ekonomi seseorang semakin sulit diubah melalui jalur pendidikan.Realitas di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses yang jauh lebih besar terhadap pendidikan berkualitas.
Mereka bisa belajar di sekolah elit, mendapatkan bimbingan belajar, mengakses teknologi canggih, dan menikmati lingkungan belajar yang mendukung.Anak-anak dari keluarga miskin harus bergulat dengan berbagai keterbatasansekolah yang rusak.
Kekurangan guru, fasilitas minim, dan tekanan ekonomi yang memaksa mereka bekerja sambil belajar.Situasi ini mengarah pada transformasi struktur kelas menjadi kasta sosial. Dalam sistem kelas, mobilitas sosial masih dimungkinkan orang miskin bisa menjadi kaya lewat kerja keras dan pendidikan. Namun dalam sistem kasta, status sosial diwariskan dan sulit ditembus. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar, kini malah menjadi alat pelanggeng status quo.
Salah satu penyebab utama masalah ini adalah komersialisasi pendidikan. Sekolah dan universitas kini dijalankan dengan logika pasar, di mana kualitas menjadi barang mahal yang hanya bisa dibeli oleh kalangan mampu. Sekolah swasta unggulan menetapkan biaya yang sangat tinggi, sementara sekolah negeri pun mulai mengenakan berbagai pungutan yang membebani keluarga miskin.
Program afirmatif dari pemerintah belum cukup efektif untuk mengatasi ketimpangan ini, karena jangkauannya terbatas dan pelaksanaannya sering tidak tepat sasaran. Krisis pendidikan juga diperparah oleh isi kurikulum yang tidak membumi. Alih-alih mendorong pemikiran kritis, kreativitas, dan keberanian untuk berubah, kurikulum lebih menekankan pada hafalan.
Kepatuhan, dan pencapaian nilai akademis. Pendidikan kehilangan peran utamanya sebagai proses pembebasan baik secara intelektual, emosional, maupun sosial.
Dr. Iswadi juga menyoroti nasib para guru yang justru terpinggirkan. Dalam sistem yang terlalu birokratis dan administratif, guru kehilangan otonomi dan kreativitas. Banyak yang frustrasi dan menjalani profesi hanya sebagai kewajiban formal, bukan sebagai panggilan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal, guru seharusnya menjadi agen utama perubahan dalam pendidikan.
Dr. Iswadi tetap membuka ruang harapan. Ia menyerukan agar bangsa ini kembali ke makna sejati pendidikan sebagai alat pemerdekaan. Pendidikan harus menjadi ruang yang inklusif, adil, dan memberdayakan, bukan sekadar jalur menuju ijazah atau pekerjaan. Untuk itu, ia mengusulkan tiga langkah reformasi mendasar: Pertama menjamin akses pendidikan berkualitas bagi semua, terutama kelompok marjinal, melalui penguatan mutu guru, fasilitas, dan dukungan ekonomi.
Kedua Reformasi kurikulum agar relevan dengan kehidupan nyata, mendorong pemikiran kritis, kreativitas, dan kepedulian sosial.Ketiga Pemberdayaan guru dengan pelatihan berkelanjutan, penghargaan layak, serta ruang untuk berkembang profesional.
Pendidikan harus menjadi kunci yang membuka jalan bagi semua, bukan hanya bagi segelintir. Bila tidak, kita akan menyaksikan ironi besar. Alat yang awalnya dirancang untuk membebaskan justru memperkuat belenggu ketidakadilan.
Dr. Iswadi mengetuk kesadaran kita untuk bertanya: apakah pendidikan kita hari ini masih membebaskan? Ataukah justru memperkuat batas-batas sosial yang diwariskan? Saatnya kita mengembalikan arah pendidikan bukan untuk kepentingan pasar, tetapi demi martabat. ***
Kekurangan guru, fasilitas minim, dan tekanan ekonomi yang memaksa mereka bekerja sambil belajar.Situasi ini mengarah pada transformasi struktur kelas menjadi kasta sosial. Dalam sistem kelas, mobilitas sosial masih dimungkinkan orang miskin bisa menjadi kaya lewat kerja keras dan pendidikan. Namun dalam sistem kasta, status sosial diwariskan dan sulit ditembus. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar, kini malah menjadi alat pelanggeng status quo.
Salah satu penyebab utama masalah ini adalah komersialisasi pendidikan. Sekolah dan universitas kini dijalankan dengan logika pasar, di mana kualitas menjadi barang mahal yang hanya bisa dibeli oleh kalangan mampu. Sekolah swasta unggulan menetapkan biaya yang sangat tinggi, sementara sekolah negeri pun mulai mengenakan berbagai pungutan yang membebani keluarga miskin.
Program afirmatif dari pemerintah belum cukup efektif untuk mengatasi ketimpangan ini, karena jangkauannya terbatas dan pelaksanaannya sering tidak tepat sasaran. Krisis pendidikan juga diperparah oleh isi kurikulum yang tidak membumi. Alih-alih mendorong pemikiran kritis, kreativitas, dan keberanian untuk berubah, kurikulum lebih menekankan pada hafalan.
Kepatuhan, dan pencapaian nilai akademis. Pendidikan kehilangan peran utamanya sebagai proses pembebasan baik secara intelektual, emosional, maupun sosial.
Dr. Iswadi juga menyoroti nasib para guru yang justru terpinggirkan. Dalam sistem yang terlalu birokratis dan administratif, guru kehilangan otonomi dan kreativitas. Banyak yang frustrasi dan menjalani profesi hanya sebagai kewajiban formal, bukan sebagai panggilan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Padahal, guru seharusnya menjadi agen utama perubahan dalam pendidikan.
Dr. Iswadi tetap membuka ruang harapan. Ia menyerukan agar bangsa ini kembali ke makna sejati pendidikan sebagai alat pemerdekaan. Pendidikan harus menjadi ruang yang inklusif, adil, dan memberdayakan, bukan sekadar jalur menuju ijazah atau pekerjaan. Untuk itu, ia mengusulkan tiga langkah reformasi mendasar: Pertama menjamin akses pendidikan berkualitas bagi semua, terutama kelompok marjinal, melalui penguatan mutu guru, fasilitas, dan dukungan ekonomi.
Kedua Reformasi kurikulum agar relevan dengan kehidupan nyata, mendorong pemikiran kritis, kreativitas, dan kepedulian sosial.Ketiga Pemberdayaan guru dengan pelatihan berkelanjutan, penghargaan layak, serta ruang untuk berkembang profesional.
Pendidikan harus menjadi kunci yang membuka jalan bagi semua, bukan hanya bagi segelintir. Bila tidak, kita akan menyaksikan ironi besar. Alat yang awalnya dirancang untuk membebaskan justru memperkuat belenggu ketidakadilan.
Dr. Iswadi mengetuk kesadaran kita untuk bertanya: apakah pendidikan kita hari ini masih membebaskan? Ataukah justru memperkuat batas-batas sosial yang diwariskan? Saatnya kita mengembalikan arah pendidikan bukan untuk kepentingan pasar, tetapi demi martabat. ***

إرسال تعليق