/> Jangan Ada Lagi Panglima Tibang: Seruan Dr. Iswadi untuk Menjaga MoU Helsinki

Jangan Ada Lagi Panglima Tibang: Seruan Dr. Iswadi untuk Menjaga MoU Helsinki

 

Dr.Iswadi,M.Pd

Jakarta, newsataloen.com - Akademisi asal Aceh, Dr. Iswadi, M.Pd., kembali menyerukan pentingnya menjaga komitmen terhadap Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) yang menjadi tonggak perdamaian Aceh. Dalam pernyataannya kepada media pada Sabtu (14/6) melalui sambungan telepon seluler, Dr. Iswadi menegaskan agar tidak ada lagi pihak yang mengkhianati semangat damai yang telah disepakati.

“Aceh sudah memilih jalan damai. Jangan sampai ada lagi ‘Panglima Tibang’ yang berkhianat terhadap cita-cita kolektif kita. Kita sudah punya MoU Helsinki sebagai fondasi, jangan diacak-acak oleh kepentingan jangka pendek,” tegas Dr. Iswadi.

MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menjadi penanda berakhirnya konflik bersenjata di Aceh. Perjanjian ini mencakup pengakuan terhadap otonomi khusus Aceh, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam, penyusunan Qanun, hingga penetapan batas wilayah administratif.

Namun, hampir dua dekade pasca penandatanganan MoU, isu batas wilayah masih menjadi polemik, khususnya di wilayah perbatasan seperti Aceh Tamiang, Aceh Singkil, dan Aceh Tenggara. Persoalan ini tidak hanya menyangkut aspek administratif, tetapi juga identitas dan distribusi sumber daya.

Dalam konteks tersebut, Dr. Iswadi mengangkat istilah "Panglima Tibang" – sebuah kiasan bagi tokoh atau pihak yang dianggap menyimpang dari komitmen perjuangan Aceh pasca damai. Istilah ini mengacu pada sosok historis yang dikenal sebagai pengkhianat perjuangan demi kepentingan pribadi.

“Kita tidak bisa membangun masa depan jika masih ada elite atau tokoh-tokoh yang bersikap seperti Panglima Tibang. Pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat tidak bisa dibenarkan dalam bentuk apa pun—baik itu kompromi politik yang merugikan Aceh, atau sikap pasif dalam memperjuangkan hak-hak Aceh sesuai MoU,” ujarnya.
Dr. Iswadi juga menyoroti manuver politik yang melemahkan posisi Aceh dalam kerangka otonomi khusus, termasuk dalam penegasan batas wilayah. Ia menegaskan bahwa segala kompromi atas hak Aceh harus mengacu pada isi MoU Helsinki, bukan pada kalkulasi politik jangka pendek.

Lebih lanjut, ia menyerukan kepada semua pihak pemerintah provinsi, DPR Aceh, dan tokoh masyarakat untuk bersatu dalam menjaga dan memperjuangkan hak-hak Aceh sebagaimana tertuang dalam MoU. “Sudah saatnya kita bersatu memperjuangkan isi MoU sebagai dokumen politik dan hukum. Jika kita tidak tegak lurus terhadap MoU, maka kita sendiri yang membuka jalan bagi pihak luar untuk mengacak-acak kesepakatan damai ini,” imbuhnya.

Tidak hanya mengkritisi elite, Dr. Iswadi juga menekankan pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat akar rumput. Menurutnya, rakyat Aceh harus dibekali pemahaman mendalam mengenai isi dan makna MoU Helsinki, agar tidak mudah dimanipulasi oleh pihak yang mengatasnamakan perjuangan.

“Kalau rakyat tidak tahu apa itu MoU, maka sangat mudah bagi ‘Panglima Tibang’ zaman sekarang untuk memanipulasi narasi. Kita perlu literasi politik, bukan sekadar slogan,” tuturnya.

Mengakhiri pernyataannya, alumni Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta itu mengajak seluruh elemen Aceh untuk tetap konsisten menjaga semangat perdamaian.

“Aceh tidak butuh lagi pengkhianat. Aceh butuh pemimpin yang jujur, setia pada rakyat, dan berani menegakkan apa yang sudah disepakati. Jangan ada lagi Panglima Tibang di tanah Rencong,” tegas Dr. Iswadi, seraya menyampaikan pesan menjadi pengingat kuat bahwa menjaga damai adalah pilihan bersama, dan pilihan itu hanya dapat bertahan jika dijaga dengan kesetiaan dan keteguhan hati oleh seluruh rakyat Aceh. (red/rj).

Post a Comment

Previous Post Next Post