![]() |
| Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Di tengah arus perubahan zaman yang kian cepat, peran seorang dosen tidak lagi sekadar sebagai pengajar yang menyampaikan ilmu di depan kelas. Lebih dari itu, dosen masa kini dituntut untuk menjadi figur inspiratif, pembimbing yang tulus, serta sahabat intelektual yang memahami kebutuhan dan tantangan mahasiswa
Dr. Iswadi, M.Pd, dalam pemikirannya mengenai Konsep Mendidik dengan Hati ruangan Kelas: Menjadi Dosen yang Dirindukan Zaman Now, menekankan pentingnya membangun hubungan kemanusiaan dalam proses pendidikan.Mendidik dengan hati bukanlah konsep baru, namun relevansinya semakin kuat di era digital saat ini. Mahasiswa zaman now hidup dalam lingkungan yang serba cepat, penuh tekanan, dan beragam distraksi. Di tengah situasi ini, kehadiran seorang dosen yang mampu menyapa, mendengar, dan memahami bukan hanya akan dikenang, tetapi dirindukan. Dosen yang mengajar dengan hati hadir bukan hanya untuk menuntaskan silabus, tetapi juga menumbuhkan jiwa.
Menurut Dr. Iswadi, mendidik dengan hati adalah tentang kehadiran secara utuh. Seorang dosen tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga hadir secara emosional dan intelektual. Ia memperhatikan proses tumbuh kembang mahasiswa sebagai individu, bukan sekadar peserta kuliah. Dalam praktiknya, hal ini tercermin dalam sikap empati, kesabaran, dan kemampuan untuk memahami latar belakang serta tantangan pribadi setiap mahasiswa.
Dosen yang mendidik dengan hati tidak terburu-buru memberikan penilaian, melainkan lebih memilih untuk menggali potensi yang tersimpan. Lebih lanjut, menjadi dosen yang dirindukan berarti mampu menyeimbangkan ketegasan akademik dengan kelembutan sikap.
Mahasiswa tidak hanya membutuhkan dosen yang cerdas, tetapi juga dosen yang mampu menciptakan ruang aman untuk bertanya, berbuat salah, dan belajar dari pengalaman. Dr. Iswadi percaya bahwa suasana kelas yang hangat dan inklusif akan melahirkan proses pembelajaran yang bermakna.
Dalam kelasnya, Dr. Iswadi mempraktikkan prinsip-prinsip ini dengan cara sederhana namun kuat. Ia mengawali perkuliahan dengan menyapa mahasiswa secara personal, berusaha mengingat nama-nama mereka, dan menanyakan kabar mereka dengan tulus. Ia memberikan ruang diskusi yang sehat, tidak memonopoli pembicaraan, dan senantiasa mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis serta reflektif. Tidak jarang ia menutup kelas dengan pesan moral atau motivasi yang membangun semangat belajar.
Teknologi juga ia manfaatkan secara bijak, bukan sekadar sebagai alat bantu, melainkan sebagai jembatan untuk mendekatkan diri dengan mahasiswa. Melalui platform digital, ia membuka ruang konsultasi yang fleksibel dan merespons pertanyaan mahasiswa dengan cepat dan hangat. Baginya, kecepatan respon bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga bentuk penghargaan atas semangat belajar mahasiswa.
Namun demikian, mendidik dengan hati tidak berarti meninggalkan kualitas akademik. Justru, pendekatan ini menjadi fondasi untuk membangun motivasi intrinsik mahasiswa dalam belajar. Ketika mahasiswa merasa dihargai dan didengarkan, mereka akan lebih terbuka menerima ilmu, lebih berani untuk berproses, dan lebih siap menghadapi tantangan akademik.
Sebagai penutup, Dr. Iswadi menegaskan bahwa menjadi dosen yang dirindukan bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang menjadi manusia yang tulus hadir dalam peran pendidiknya. Pendidikan adalah proses membentuk manusia, dan hanya hati yang tuluslah yang mampu menyentuh hati.
Dalam kelasnya, Dr. Iswadi mempraktikkan prinsip-prinsip ini dengan cara sederhana namun kuat. Ia mengawali perkuliahan dengan menyapa mahasiswa secara personal, berusaha mengingat nama-nama mereka, dan menanyakan kabar mereka dengan tulus. Ia memberikan ruang diskusi yang sehat, tidak memonopoli pembicaraan, dan senantiasa mengajak mahasiswa untuk berpikir kritis serta reflektif. Tidak jarang ia menutup kelas dengan pesan moral atau motivasi yang membangun semangat belajar.
Teknologi juga ia manfaatkan secara bijak, bukan sekadar sebagai alat bantu, melainkan sebagai jembatan untuk mendekatkan diri dengan mahasiswa. Melalui platform digital, ia membuka ruang konsultasi yang fleksibel dan merespons pertanyaan mahasiswa dengan cepat dan hangat. Baginya, kecepatan respon bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga bentuk penghargaan atas semangat belajar mahasiswa.
Namun demikian, mendidik dengan hati tidak berarti meninggalkan kualitas akademik. Justru, pendekatan ini menjadi fondasi untuk membangun motivasi intrinsik mahasiswa dalam belajar. Ketika mahasiswa merasa dihargai dan didengarkan, mereka akan lebih terbuka menerima ilmu, lebih berani untuk berproses, dan lebih siap menghadapi tantangan akademik.
Sebagai penutup, Dr. Iswadi menegaskan bahwa menjadi dosen yang dirindukan bukan tentang menjadi sempurna, tetapi tentang menjadi manusia yang tulus hadir dalam peran pendidiknya. Pendidikan adalah proses membentuk manusia, dan hanya hati yang tuluslah yang mampu menyentuh hati.
Dalam setiap pertemuan di kelas, dosen memiliki kesempatan untuk bukan hanya mengajar, tetapi juga menginspirasi. Itulah warisan sejati dari seorang pendidik bukan hanya pada catatan nilai, tetapi pada ingatan dan rasa hormat yang hidup dalam sanubari mahasiswa.(red/rizal jibro).

Post a Comment