/> Cerdas tapi Tetap Rendah Hati, Dr. Iswadi: Apa Gunanya Kalau Kita Enggak Punya Kerendahan Hati

Cerdas tapi Tetap Rendah Hati, Dr. Iswadi: Apa Gunanya Kalau Kita Enggak Punya Kerendahan Hati

 


Jakarta, newsataloen.com - Di tengah era yang penuh dengan kompetisi dan pencapaian, tak sedikit orang yang menjadikan kecerdasan dan gelar akademik sebagai tolok ukur utama kesuksesan. Namun, bagi Dr. Iswadi, M.Pd (foto) seorang pendidik dan pemikir yang sudah malang melintang di dunia pendidikan Indonesia, kecerdasan bukanlah satu-satunya hal yang penting. Baginya, kerendahan hati justru menjadi pondasi utama dari kebijaksanaan sejati.


Pintar itu penting, tapi rendah hati jauh lebih penting. Apa gunanya pintar kalau tidak bisa menghargai orang lain? begitu kata beliau dalam wawancara khusus dengan awak media melalui telpon seluler miliknya. Ucapan itu sederhana, tapi mengandung makna mendalam yang mencerminkan prinsip hidupnya.


Dr. Iswadi dikenal sebagai sosok yang berwawasan luas, memiliki pemahaman mendalam dalam bidang pendidikan, serta sering menulis buku dan jurnal serta menghadiri seminar nasional Namun di balik pencapaiannya yang luar biasa, beliau tetap bersikap ramah, santun, dan mudah didekati. Tak ada kesan angkuh atau merasa paling tahu. Ia lebih sering bertanya daripada memamerkan ilmunya, dan lebih suka mendengarkan daripada berbicara panjang lebar soal dirinya.


Ia sering mengingatkan, terutama kepada para mahasiswa dan pendidik muda, bahwa ilmu tanpa akhlak hanyalah kesombongan yang terselubung. “Kalau kita hanya mengejar gelar, jabatan, atau pujian, maka kita sedang membangun rumah di atas pasir. Gampang roboh. Tapi kalau kita membangun karakter, termasuk kerendahan hati, itu seperti membangun rumah di atas batu,” jelasnya suatu kali saat memberikan kuliah kepada para mahasiswa dikelas


Prinsip ini bukan hanya ucapan semata. Dalam kehidupan sehari-harinya, Dr. Iswadi menunjukkan langsung bagaimana ilmu yang tinggi seharusnya membuat seseorang semakin bijak dan tidak merendahkan orang lain. Ia menyapa staf kebersihan dengan senyum, menyempatkan diri mendengarkan curhat mahasiswa, hingga memberi waktu untuk berdiskusi dengan rekan-rekan dosen junior tanpa merasa lebih tinggi.

Salah satu cerita yang banyak dikenang adalah ketika ia menghadiri sebuah forum akademik . Meski menjadi salah satu pembicara utama, ia justru lebih banyak memuji karya orang lain dan memberikan apresiasi atas ide-ide dari peserta muda. Saat ditanya kenapa tak memamerkan risetnya sendiri, ia hanya tersenyum, “Saya di sini bukan untuk dipuji. Kalau kita bisa mengangkat orang lain, kenapa tidak?


Bagi Dr. Iswadi, kerendahan hati bukan berarti mengerdilkan diri, tetapi mengenal diri dengan jujur. Ia mengakui bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kecerdasan, menurutnya, tidak menjadikan seseorang lebih manusia dari yang lain. Justru, semakin seseorang belajar, semakin ia sadar bahwa masih banyak yang belum diketahui. Dari situlah kerendahan hati tumbuh.


Ia juga menekankan bahwa dalam dunia pendidikan, ego bisa menjadi racun. Guru yang merasa paling benar cenderung menutup diri dari kritik. Akademisi yang merasa paling hebat sulit untuk berkolaborasi. Padahal, dunia terus berubah dan belajar adalah proses seumur hidup. “Kalau kita merasa sudah tahu segalanya, maka kita berhenti belajar. Dan saat itulah kita mulai mundur,” ungkapnya.


Kerendahan hati juga, menurutnya, membuka pintu rezeki dan keberkahan. Ia percaya bahwa Allah lebih senang kepada orang-orang yang bersyukur dan tidak sombong dengan apa yang mereka punya. Ilmu itu amanah. Kalau kita sombong, kita bisa kehilangan keberkahan dari ilmu itu,” tambahnya.

Dalam banyak kesempatan, Dr. Iswadi selalu meninggalkan pesan yang sama: jangan hanya jadi orang cerdas, tapi jadilah orang yang bijak. Dan kebijaksanaan itu, katanya, lahir dari hati yang rendah, bukan dari kepala yang tinggi.


“Kita bisa punya gelar setinggi langit, tapi kalau hati kita penuh kesombongan, maka semua itu tak akan berarti. Pada akhirnya, orang akan lebih mengingat bagaimana kita memperlakukan mereka, bukan seberapa hebat kita.”(red/rizal jibro).

Post a Comment

Previous Post Next Post