/> Mualem Didesak Copot Sekda Aceh, Rentetan Blunder Dinilai Cederai Tata Kelola Bencana

Mualem Didesak Copot Sekda Aceh, Rentetan Blunder Dinilai Cederai Tata Kelola Bencana


Foto: Ist

Banda Aceh, newsataloen.com — Desakan agar Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf (Mualem) mencopot Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh M. Nasir kian menguat. Rentetan persoalan dalam penanganan bencana hidrometeorologi sepanjang akhir 2025 dinilai bukan lagi kesalahan teknis, melainkan kegagalan serius tata kelola pemerintahan yang berimplikasi langsung pada kredibilitas Gubernur dan kepercayaan publik.

Pemerhati Sosial dan Politik Aceh, Mahmud Padang, menilai Sekda Aceh gagal menjalankan fungsi utamanya sebagai pengendali birokrasi, koordinator lintas sektor, sekaligus penanggung jawab administrasi penanganan bencana. Dalam kondisi darurat, ketika keputusan harus berbasis data akurat dan koordinasi cepat, justru terjadi serangkaian blunder yang menyeret nama Gubernur ke pusaran kontroversi.

“Kita mengapresiasi keberpihakan dan keberanian Mualem yang turun langsung ke lapangan. Tetapi harus diakui, beberapa pernyataan Gubernur yang kemudian terbukti keliru bukan lahir dari kehendak pribadi, melainkan akibat informasi yang tidak diverifikasi dengan baik oleh Sekda sebagai Kepala Posko Tanggap Darurat,” ujar Mahmud Padang, Kamis (18/12/2025).

Menurut Mahmud, dalam sistem pemerintahan modern, Sekda bukan sekadar pejabat administratif, melainkan “jantung koordinasi” birokrasi. Ketika jantung ini gagal memompa informasi yang valid, maka seluruh organ pemerintahan ikut terganggu. Fakta di lapangan menunjukkan, beberapa informasi krusial yang disampaikan ke Gubernur ternyata tidak berdasar.

Kasus isu mayat-mayat terkurung di dalam mobil di Aceh Tamiang, yang kemudian dipastikan tidak benar oleh Polres setempat, menjadi contoh nyata kegagalan verifikasi data. Demikian pula kabar hilangnya 80 ton beras bantuan di Bener Meriah, yang belakangan terbukti hanya isu tanpa dasar faktual. Kedua informasi tersebut sempat memicu kegaduhan publik dan memperburuk persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintah daerah.

“Dalam manajemen bencana, kesalahan informasi bukan hal sepele. Ia bisa memicu kepanikan, salah arah kebijakan, bahkan delegitimasi kepemimpinan. Jika ini terjadi berulang, maka jelas ada masalah serius di tingkat koordinasi dan kendali,” kata Ketua DPW Alamp Aksi Aceh itu.

Persoalan paling krusial, lanjut Mahmud, adalah terbitnya surat yang ditujukan ke lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan menggunakan tanda tangan elektronik atas nama Gubernur Aceh. Surat tersebut menimbulkan tafsir seolah Gubernur Aceh mengambil langkah diplomatik yang berada di luar kewenangannya. Belakangan, Mualem secara terbuka menyatakan tidak pernah menandatangani surat tersebut.

“Ini bukan sekadar kesalahan prosedur, tapi indikasi pelanggaran serius dalam administrasi pemerintahan. Mengeluarkan surat atas nama Gubernur tanpa sepengetahuan pimpinan adalah bentuk abuse of authority. Tanggung jawab ini melekat langsung pada Sekda sebagai penanggung jawab administrasi pemerintahan,” tegas Mahmud.

Selain itu, kinerja Sekda Aceh juga dinilai lemah dalam mengoptimalkan sumber daya Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Dalam kondisi darurat, SKPA seharusnya bergerak serempak dengan satu komando. Namun yang terjadi justru sebaliknya, dimana koordinasi lintas sektor berjalan tersendat, komunikasi tidak sinkron, dan respons di lapangan tampak terfragmentasi.

Indikator lain yang tak kalah penting adalah rendahnya realisasi Belanja Tidak Terduga (BTT). Padahal, secara regulasi, BTT disediakan untuk memastikan pemerintah hadir secara cepat dalam situasi bencana. Minimnya penyerapan anggaran ini memperkuat dugaan bahwa problem penanganan bencana Aceh bukan terletak pada ketiadaan sumber daya, melainkan pada lemahnya kepemimpinan administratif yang merupakan tanggung jawab Sekda.

“Jika anggaran ada, kewenangan ada, tetapi respons tetap lamban, maka masalahnya jelas pada kepemimpinan birokrasi. Dalam konteks ini, Sekda Aceh gagal menunjukkan sense of crisis,” ujar Mahmud.

Atas dasar itu, Mahmud menilai Gubernur Aceh perlu mengambil langkah tegas dan rasional demi menyelamatkan marwah pemerintahan. Evaluasi menyeluruh terhadap Sekda Aceh, termasuk opsi pencopotan, dinilai bukan tindakan emosional, melainkan langkah korektif untuk memulihkan efektivitas pemerintahan dan kepercayaan publik.

“Ketegasan Gubernur justru akan menjadi pesan bahwa negara tidak boleh kalah oleh buruknya tata kelola. Dalam situasi bencana, rakyat Aceh tidak butuh drama, yang mereka butuhkan adalah kepastian, kecepatan, dan kejujuran birokrasi,” pungkasnya. (rls/ybs/ops/mi)



Post a Comment

أحدث أقدم