Oleh:Usman Cut Raja
Pidie, newsataloen.com – Mengenang Hikayat Perang Sabi. Hikayat Prang Sabi buah karya Haji Muhammad (Teungku Chik Pante Kulu) pada tahun 1881. Putra kelahiran Pante Kulu Keumala Pidie, sebelumnya lebih 28 tahun menetap di Mekkah dan pulang ke Aceh untuk melawan kolonial. Belanda kemudian melarang syair ini hingga Belanda angkat kaki dari Aceh pada 1942.
Hikayat Prang Sabi berperan besar dalam membangkitkan semangat perang, sehingga menjadi momok menakutka bagi Tentara Belanda. Seorang Belanda Zentgraaf melukiskan tentang hikayat tersebut sebagai berikut:
“Para pemuda meletakkan langkah pertamanya di medan perang atas pengaruh yang sangat besar dari karya-sastra ini, menyentuh perasaan mereka yang mudah tersinggung …. karya-sastra yang sangat berbahaya”.
Prof. Dr. Anthony Reid, ahli sejarah barat yang terkenal, melukiskan Hikayat Prang Sabi itu sebagai sesuatu yang sangat dahsyat.
Hikayat Prang Sabi adalah paling masyhur dalam membangkitkan semangat perang suci. Sejarawan Aceh Ali Hasjmy menilai bahwa hikayat Prang Sabi yang ditulis Tengku Chik Pante Kulu telah berhasil menjadi karya sastra puisi terbesar di dunia.
Itulah sebuah mahakarya Hikayat Prang Sabi, sebagai puisi perang dalam melawan penjajah. Kegemilangan kemenangan dari spirit syair ini telah menjadi memori perjuangan yang dikenang generasi sesudahnya. Sebuah syair dari “Penyair Perang” terbesar di dunia, Teungku Chik Pante Kulu. ***
Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di bumi Serambi Mekkah, tidak hanya ditulis dengan tetesan darah dan dentuman meriam, tetapi juga melalui bait-bait puisi yang membakar jiwa. Salah satu literatur paling fenomenal yang pernah lahir adalah Hikayat Prang Sabi, sebuah karya sastra epik yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu pada tahun 1881.
Bukan sekadar syair biasa, Hikayat Prang Sabi diakui oleh para sejarawan dunia sebagai salah satu puisi perang paling berpengaruh yang pernah tercipta. Tulisan ini menjadi bukti nyata bagaimana kekuatan kata-kata mampu menggerakkan massa untuk melawan penindasan kolonialisme Belanda dengan keberanian yang melampaui logika militer pada masa itu.
Sosok di balik karya besar ini adalah Haji Muhammad, atau yang lebih dikenal dengan gelar Teungku Chik Pante Kulu. Beliau merupakan putra asli kelahiran Pante Kulu, Keumala, Kabupaten Pidie. Sebelum terjun langsung ke medan laga, beliau sempat menetap selama lebih dari 28 tahun di Mekkah untuk menuntut ilmu.
Namun, panggilan tanah air lebih kuat dari segalanya. Sekembalinya dari tanah suci, beliau menyaksikan tanah kelahirannya dicengkeram oleh kolonialisme Belanda. Di atas kapal dalam perjalanan pulang menuju Aceh, beliau menuliskan bait-bait Hikayat Prang Sabi sebagai "bahan bakar" spiritual bagi rakyat Aceh untuk memulai perlawanan semesta yang dikenal dengan Perang Sabi.
Daya magis dari syair ini begitu kuat sehingga Belanda merasa perlu melarang peredarannya secara ketat hingga mereka angkat kaki dari Aceh pada tahun 1942. Para serdadu Belanda menyadari bahwa mereka tidak hanya melawan fisik para pejuang, tetapi juga melawan keyakinan yang diledakkan oleh puisi tersebut.
Seorang penulis dan jurnalis Belanda, H.C. Zentgraaf, secara jujur mengakui kengerian Belanda terhadap karya ini. Ia melukiskan betapa dahsyatnya pengaruh teks tersebut terhadap psikologis pemuda Aceh:
"Para pemuda meletakkan langkah pertamanya di medan perang atas pengaruh yang sangat besar dari karya sastra ini. Ia menyentuh perasaan mereka yang mudah tersinggung... ini adalah karya sastra yang sangat berbahaya," tulis Zentgraaf dalam catatan sejarahnya.
Senada dengan itu, sejarawan Barat ternama Prof. Dr. Anthony Reid juga menggambarkan Hikayat Prang Sabi sebagai sesuatu yang sangat dahsyat dan mampu menciptakan ketahanan yang tak tergoyahkan di kalangan masyarakat Aceh dalam melawan agresi asing.
Mantan Gubernur Aceh sekaligus sejarawan, Ali Hasjmy, memberikan testimoni yang tak kalah mengagumkan. Menurutnya, Hikayat Prang Sabi bukan hanya sekadar catatan lokal, melainkan berhasil memosisikan dirinya sebagai salah satu karya sastra puisi perang terbesar di dunia. Struktur bahasanya yang ritmis, metafora surga yang dijanjikan, serta seruan moral untuk membela martabat bangsa menjadikannya sebagai instrumen mobilisasi massa yang paling efektif.
Semangat yang ditiupkan oleh "Penyair Perang" Teungku Chik Pante Kulu telah menjadi memori kolektif dan identitas perjuangan yang diwariskan lintas generasi. Hingga hari ini, mengenang Hikayat Prang Sabi berarti merawat ingatan akan harga diri sebuah bangsa yang tidak pernah sudi untuk dijajah. ***

إرسال تعليق