![]() |
Dr.Iswadi,M.Pd |
Jakarta, newsataloen.com - Rumah Fauzia berdiri persis di belakang tembok SMAN favorit di kotanya. Setiap pagi, deru lonceng sekolah terdengar jelas dari ruang tamunya. Ia membayangkan anak kandungnya duduk di salah satu kelas di balik pagar itu. Tapi harapan itu sirna. Anak Fauzia tak diterima melalui jalur zonasi. Alasannya: rumahnya "terlalu jauh" menurut sistem digital.
Padahal, jaraknya hanya selemparan batu. Secara administratif, lingkungan tempat tinggalnya satu RT dengan sekolah. Tapi sistem PPDB berbasis peta dan algoritma menolaknya mentah-mentah. Tak ada penjelasan, tak ada banding. Hanya satu kalimat: "tidak lolos zonasi."
Kisah ini bukan sekadar tentang gagal masuk sekolah negeri. Ini tentang ketidakadilan yang dilembagakan. Tentang sebuah sistem yang membanggakan akurasi teknologi, tapi kehilangan rasa kemanusiaan.
Dr. Iswadi, M.Pd., pakar pendidikan dan pengkritik kebijakan PPDB, menyebut ini sebagai ironi terbesar dalam sistem zonasi. “Anak yang tinggal di belakang sekolah tidak diterima? Maka sistem ini tidak sedang mengatur keadilan, tapi sedang mempertontonkan kekacauan,” tegasnya.
Ia menyoroti dominasi sistem digital yang tanpa pengawasan manusiawi. “Kita terlalu percaya pada peta, tapi lupa bahwa peta tidak bisa melihat kenyataan. Data bisa salah. Dan ketika salah, ia menghancurkan masa depan anak-anak,” tambahnya.
Lebih menyakitkan, banyak kasus menunjukkan siswa dari luar zona bisa masuk dengan cara manipulasi alamat, numpang KK, bahkan praktik jual beli domisili. Sementara anak-anak seperti milik Fauzia tersisih diam diam. Mereka jujur, tapi kalah.
“Orang tua kini lebih sibuk mengakali sistem daripada mendampingi anak belajar. Itu bukti sistem pendidikan kita sedang sakit,” kata Dr. Iswadi.
Kementerian dan dinas pendidikan daerah kerap berdalih bahwa semua sesuai prosedur. Tapi prosedur yang menyingkirkan anak dari belakang sekolah bukanlah prosedur yang adil. Itu mesin tanpa nurani. Itu birokrasi yang gagal melihat manusia di balik angka.
“Jika pendidikan hanya jadi soal titik koordinat dan garis digital, maka keadilan telah dikorbankan di altar teknologi,” ujar Iswadi.
Kisah Fauzia hanyalah satu dari ribuan. Tapi luka ini harus jadi peringatan. Sistem pendidikan yang tak bisa merangkul anak-anak terdekat, tak layak dibanggakan. Kita butuh sistem yang adil bukan hanya di kertas, tapi juga di lapangan.Jika suara mereka yang tinggal di belakang sekolah saja tak terdengar, lalu untuk siapa sekolah itu dibangun? (red/rj).
Post a Comment