/> Opini: Kelas Seperti Gudang? Dr. Iswadi Serukan Batas 20 Siswa demi Pendidikan Efektif

Opini: Kelas Seperti Gudang? Dr. Iswadi Serukan Batas 20 Siswa demi Pendidikan Efektif

Dr.Iswadi,M.Pd


Jakarta, newsataloen.com - Pemerintah Provinsi Jawa Barat sejak beberapa tahun terakhir menerapkan kebijakan maksimal 50 siswa per kelas, dengan tujuan memperluas akses pendidikan dan menekan angka putus sekolah. Namun, kebijakan ini menuai kritik dari praktisi pendidikan, termasuk Dr. Iswadi, pakar pembelajaran dan pelatihan guru, yang menilai jumlah tersebut kontraproduktif terhadap mutu pendidikan.

Dr. Iswadi menekankan bahwa pembelajaran efektif hanya dapat tercapai jika jumlah siswa dibatasi maksimal 20 orang. Ia mendasarkan pandangannya pada tiga aspek utama: efektivitas interaksi guru-siswa, pembentukan karakter, dan kesejahteraan guru.

Pertama, dari segi interaksi, kelas kecil memungkinkan guru menjalin hubungan personal dengan siswa. Guru dapat lebih mudah mengenali potensi, gaya belajar, dan kesulitan siswa, serta memberikan umpan balik konstruktif. Dalam kelas besar, interaksi menjadi terbatas, cenderung satu arah, dan menghambat proses pembelajaran yang mendalam.

Kedua, pembentukan karakter seperti kejujuran, tanggung jawab, empati, dan kepemimpinan lebih mungkin terjadi dalam kelas kecil. Guru berperan sebagai mentor, bukan sekadar otoritas. Pembiasaan nilai-nilai melalui interaksi bermakna dan tugas kelompok kecil dapat berjalan maksimal jika jumlah siswa sedikit. Dalam kelas besar, pendekatan sosial-emosional guru melemah dan siswa kehilangan kesempatan untuk tumbuh secara personal.

Ketiga, kesejahteraan guru menjadi perhatian penting. Mengelola 50 siswa tidak hanya menuntut kemampuan pedagogik ekstra, tetapi juga menguras energi fisik dan mental guru. Kondisi ini rentan menimbulkan kelelahan dan burnout. Kelas kecil membuat suasana belajar lebih kondusif, dan guru dapat bekerja secara lebih manusiawi.

Dr. Iswadi juga mengkritik sistem pembelajaran massal yang terjadi di kelas besar. Dalam situasi seperti itu, penilaian seringkali hanya berbasis ujian tertulis yang seragam. Penilaian otentik seperti proyek, portofolio, dan presentasi sulit diterapkan, sehingga potensi unik tiap siswa sering tidak terlihat. Selain itu, sarana belajar seperti meja, kursi, dan ruang gerak seringkali tidak memadai, menyebabkan suasana belajar menjadi tidak nyaman bahkan tidak bermartabat.
Lebih dari sekadar soal teknis, Dr. Iswadi memandang kebijakan jumlah siswa sebagai refleksi nilai integritas dan karakter dalam sistem pendidikan. Integritas berarti kejujuran dalam menyusun kebijakan; mengakui bahwa 50 siswa per kelas adalah kompromi karena keterbatasan, bukan pilihan ideal. Karakter berarti berpihak pada pembentukan individu seutuhnya, bukan hanya transfer pengetahuan. Pendidikan harus membentuk manusia, bukan sekadar menghasilkan lulusan.

Sebagai solusi, Dr. Iswadi mengusulkan beberapa langkah berkelanjutan. Pertama, pemerintah secara bertahap menambah ruang kelas dan merekrut guru agar ke depan kelas berisi 20–25 siswa menjadi kenyataan. Ini dapat didukung melalui dana BOS, CSR, dan partisipasi masyarakat.

Kedua, penerapan sistem shift pagi dan siang bisa mengurangi jumlah siswa per sesi. Di samping itu, pembelajaran hybrid atau daring bisa dimanfaatkan untuk menurunkan kepadatan fisik tanpa mengorbankan interaksi.

Ketiga, jika jumlah siswa belum bisa dikurangi, guru perlu dilatih dalam metode pembelajaran efektif untuk kelas besar, seperti cooperative learning, pembelajaran berbasis kelompok kecil, dan peer teaching

Keempat, kurikulum harus memberi ruang bagi pembelajaran dan penilaian individual. Dokumentasi perkembangan siswa dan intervensi personal perlu menjadi bagian integral kurikulum, bukan sekadar tambahan.

Bagi Dr. Iswadi, debat soal jumlah siswa bukan hanya teknis, melainkan cerminan sikap terhadap kualitas dan masa depan generasi muda. Pendidikan bermutu tidak bisa dicapai dengan sistem seperti gudang. Diperlukan keberanian untuk jujur, berproses, dan mengambil langkah nyata agar idealisme 20 siswa per kelas menjadi kebijakan nyata demi masa depan yang gemilang bagi setiap anak di Indonesia.(red/rizal jibro).

Post a Comment

Previous Post Next Post